Sunday, May 26, 2019

Dibuang Sayang

Halloha, Journey!
Hari ini gue bakalan update kejadian yang sudah gue alami seminggu yang lalu. Which is harusnya gue update setiap awal minggu, hari Senin misalnya. Tapi karena gue orangnya nggak terjadwal banget ya jadilah seperti ini. Ndak tentu. Wuehehehehe....

Okay, jadi gue baru aja selesai USBN (Ujian Sekolah Berbasis Nasional). Dan hari Senin depan gue udah harus siap-siap sama UKK. Gila, gue udah bener-bener ngerasa stres dan depresi banget gitu harus struggle terus sama pelajaran. Dan lo tahu, nggak? Gue sekolah di SMK dan gue ngambil jurusan AKUNTANSI. AKUNTANSI, coy. Sekali lagi, ah. AKUNTANSI, CUY!

Makin kesini tuh gue semakin ngerasa kalau belajar itu nggak perlu. Belajar yang gue maksud adalah belajar yang bener-bener gue ngehapalin rumus dan setiap kata yang ada di buku pelajaran gue. Sebenarnya dulu ketika gue memilih jurusan akuntansi, gue sempet nggak yakin gitu. Karena, gue udah tahu bahwasanya jurusan akuntansi itu bikin mumet. Cuman, gue tahu kalau di dalam kehidupan tuh kita sangat erat banget bersinggungan dengan prinsip akuntansi. Dan gue rasa ilmu akuntansi yang gue dapatkan itu akan berguna untuk kedepannya. Entah untuk pekerjaan gue atau untuk gue terapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Atas dasar pertimbangan itulah, gue akhirnya memilih jurusan akuntansi.

Akan tetapi..
Ternyata gue salah. Ekspetasi gue ketika gue masuk SMK adalah gue akan bener-bener dikasih pelajaran mengenai jurusan gue dengan lebih serius gitu. Di dalam konteks gue ya tentu saja gue harusnya terus dikasih materi mengenai akuntansi. Ekspetasi gue adalah nanti gue akan belajar akuntansi dengan sistem seperti les. Menyenangkan dan mempelajari tiap materinya mulai yang mendasar sampai yang complicated.

Namun, gue lumayan shock ketika ternyata mata pelajaran biasa juga tetap ada di SMK. (Sejarah, Matematika, Bahasa Inggris, dan kawan-kawannya).
Kalau yang satu itu gue bukan kaget sebener-benernya kaget. Gue tahu kalau memang selain akuntansi, pelajaran yang biasa memang tetap ada. Namun, yang gue nggak tahu adalah pelajaran lain itu frekuensinya sama dengan pelajaran akuntansi yang gue dapet di sekolah. Which is menurut gue seharusnya gue lebih banyak mendapat pelajaran akuntansi dibandingkan pelajaran regular. Tapi, ternyata pelajaran regular itu juga menyita waktu sefrekuensi dengan akuntansi.

Jadi, gue tuh ngerasanya ilmu akuntansi yang gue dapetin itu nguap. Nguap gitu aja. Ketika gue mulai enjoy sama materi persamaan dasar akuntansi, gue ternyata dapet tugas dari pelajaran Sejarah untuk membuat laporan mengenai Sejarah PKI yang pernah ada di Indonesia. Mau nggak mau, otak bercabang. Dan yang gue tahu, cabang di otak gue terbatas.

I mean, ini kan Sekolah Menengah Kejuruan, ya? Jadi, bukankah fokus yang ditekankan adalah pelajaran terkait jurusan yang diambil? Akuntansi ya difokusin akuntansi. Tata Boga ya difokusin masak. Dan lain-lain. Praktik pelaksanaan SMK ternyata tidak sesuai dengan definisnya.

Gue lebih milih puyeng sama pelajaran akuntansi tiap hari daripada puyeng campur aduk kayak gini. I mean, setidaknya kepuyengan gue itu berfokus pada satu subyek saja. Jadi, gue punya alasan untuk puyeng dengan jelas. Tidak seperti ini! Lagi pula kan memang tujuan gue adalah paham tentang akuntansi, ya? Dan gue sadar bahwa kemampuan ingatan otak gue terbatas. Kalau belajar nggak gue ulang sendiri lebih dari 2 kali, gue tetap nggak akan paham sama tuh pelajaran. Masalahnya adalah, gue nggak punya waktu untuk mengulang pelajaran akuntansi karena lebih sering bentrok untuk mengerjakan PR dari pelajaran lain. Huhuhuhu...

Kalau misalnya pelajaran regularnya itu hanya Matematika, Bahasa Inggris, dan Bahasa Indonesia saja gue rasa gue nggak akan terlalu pusing. Dan seharusnya tetep akuntansi yang menjadi topik utama pelajaran selama 3 tahun.
Lah ini? semua ada. Seni Budaya, Bahasa Jawa, Pend, Agama, Pend, Kewarganegaraan, Penjasorkes. Belum lagi akuntansinya, Manufaktur, Akuntansi Keuangan, Administrasi Pajak, MYOB, dan lainnya.

Seharusnya pelajaran regular itu tidak terlalu menuntut. Seenggaknya agak pasif lah, gitu. Biar yang menonjol si materi jurusan ini. Itu menurut pikiran gue, sih.

Any opinion?

Friday, May 24, 2019

Tentang Ramadhan

Hasil gambar untuk ramadhan

"Nduk, Ayo bangun. Sahur dulu." Sayup-sayup ku dengar suara lembut disertai tangan yang setengah menggoncangkan tubuhku. 
"Kamu puasa, nggak?"
Aku mulai terusik, perlahan ku buka mata dan melirik ke arah jam yang tergantung manis di dinding kamar. Pukul 03.15.
Tanpa mengeluarkan sepatah katapun, aku bangun dan turun dari tempat tidur kemudian menuju ke ruang tamu. Bau ikan sarden, lauk kesukaanku, langsung menusuk ke hidungku.

"Nyoh. Ngombe sek." (Ini. Minum dulu) Ucap beliau yang datang dari dapur dan membawakan teh manis. Ia memberikan teh manis itu kepadaku. Aku masih setengah mengantuk dengan mata yang sedikit tertutup. Ku coba untuk membuka mata agar aku benar-benar bangun.

Ku lihat beliau melangkah ke arah televisi dan menyalakannya, mengarahkan televisi ke acara sahur kesukaan kami. Aku masih mencoba sadar untuk bisa makan. Kalau kalian bertanya, "Kenapa kamu sahur jam 3? Bukankah lebih baik mengakhirkan waktu sahur?"

Jadi, biasanya ogut selalu sholat dulu sebelum sahur. Makdarit, (Maka dari itu) aku selalu minta dibangunkan jam 3 pagi. Nggak selalu, sih. Kadang pun saya baru mau bangun jam 4. Hueueueue..
Alasan lain mengapa bangun lebih pagi adalah karena saya kalau makan sahur itu pasti lamaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa banget. Mengumpulkan nyawa dan bisa bangun pun butuh waktu hampir setengah jam. Bayangkan kalau saya bangun jam 4, mengumpulkan nyawa 10 menit, padahal jam segitu sudah waktunya imsak. Belum lagi saya kalau makan masih ngantuk-ngantuk gitu lamanya na'udzubillah. Ntar malah kagak jadi sahur.

Ku lihat beliau melangkah ke kamar Ibu, untuk membangunkan Ibuku yang akan sahur. Huh, aku jadi merindukan Nenek. Dulu, ketika beliau masih ada, beliau yang paling repot dan ribet mempersiapkan menu makan sahur. Nenek memang sudah tak lagi berpuasa, namun beliaulah yang repot-repot bangun pagi-pagi sekali karena mempersiapkan sahur untukku dan Ibu.

Saya pun juga kadang bangun dan membantu mempersiapkan sahur, tapi dalam sebulan, mungkin hanya bisa dihitung dengan jari kapan saya membantu beliau manyiapkan sahur. Selebihnya, saya baru bangun ketika beliau selesai menyiapkan makanan untuk sahur.

Biasanya ketika suasana hati kami sedang baik, kami berkumpul di ruang tamu untuk sahur dan mengobrol sembari menonton acara sahur di televisi. Aku rindu suasana seperti itu.

Saat aku dan Ibu sahur, biasanya Nenek tidak tidur. Beliau masih menunggui kami ketika sahur. Bahkan, setelah ku ingat-ingat lagi, kalau misalnya aku sama sekali tidak bersemangat sahur, beliaulah yang turun tangan. Menyuapiku. Kadang ada saat dimana aku sangat malas untuk makan sahur dan mencoba untuk tidak sahur saja. Namun, beliau pasti langsung melarangku begitu.

Beliau selalu memastikan kalau aku sudah makan ketika sahur. Kalau aku tidak segera makan, beliau langsung menyuapiku entah hanya dapat beberapa sendok saja. Nenek selalu merasa tenang kalau aku sudah makan. Perhatian yang takkan pernah ku dapatkan lagi.

Dimanja sampai aku berumur 17 tahun.

Rasanya baru kemarin beliau menyuapiku dan mengeluh, "Wongtua kaya aku ngene ki mung enek 100 siji. Nduk, nduk, apa ana bocah gerang arep 17 tahun isih didulang kaya ngene?"

(Orangtua yang seperti aku hanya ada 1 dari seratus orangtua. Nduk, nduk, mana ada remaja yang usianya hampir 17 tahun kalau makan masih disuapi kayak gini?"

Benar juga. Dari sekian banyak orangtua, jarang sekali yang sesabar itu seperti beliau. Kalau aku ada di keluarga lain mungkin aku akan dibentak dan dimarahi karena minta disuapi. Tapi beliau tidak, beliau selalu sabar dan mau menyuapiku.

Ya, mungkin pernah satu kali beliau memarahiku. Aku tahu, mungkin beliau ingin aku mandiri karena suatu saat beliau takkan ada lagi di sini. Dan benar, Ramadhan tahun ini beliau benar-benar tak ada di sisiku.

Biasanya, beliau akan tidur kalau aku dan Ibuku sudah sholat Subuh. Tapi tidak selalu juga, kadang beliau tetap terjaga dan menungguiku sampai aku berangkat sekolah. Pernah suatu hari, setelah aku sholat Subuh, beliau sudah terlelap di kasurnya. Dilihat dari posisinya tidur, beliau begitu kecapekan sekali. Ku tutupi tubuhnya dengan selimut. Aku hanya berdiri di samping ranjang dan menatapnya sembari berkata, "Semoga lelahmu menjadi lillah. Aamiin."

Mungkin hanya 5 tahun beliau benar-benar mendampingiku di Bulan Ramadhan. Karena seingatku, aku benar-benar berpuasa full mulai ketika aku kelas VII SMP.

5 tahun yang sanggup membuatku bahagia dan sedih. Entahlah, banyak memori bergelantungan dalam otakku saat ini. Namun, tak sanggup kalau harus ku ceritakan segalanya.

Siapa yang menyangka kalau Ramadhan tahun lalu, adalah Ramadhan terakhir aku bisa bertemu Nenekku?

Siapa yang menyangka Ramadhan kemarin adalah Ramadhan termenyedihkan dalam hidupku yang sampai hari ini masih sedikit menimbulkan goresan luka.

Tak lagi aku mencium pipi keriputmu,
Tak lagi ku genggam jemari besarmu,
Tak lagi ku usap rambut berubanmu,
Tak lagi ku lihat senyum dari bibir tipismu,
Tak lagi ku dengar tawa lebarmu kala aku tak sengaja kentut di dekatmu,
Tak lagi ku potong kuku jari kaki dan tanganmu,
Tak lagi ku memanggil "Mbok"
Tak lagi kita berpelukan seperti dulu,
Tak lagi,...
Dan takkan lagi....

Aku rindu,
Aku rindu,
Aku rindu.....

Terimakasih untuk Ramadhan terakhir kita, Mbok.
Maaf kalau ku teteskan lagi air mata untuk kesekian kalinya..
Aku hanya rindu.

PS: Teruntuk Ibu, terimakasih telah berusaha sekuat tenaga menggantikan almh. Nenek. Ku tahu kalau kau terlihat tegar karena ingin aku tidak terlalu merasa kehilangan meski sebenarnya kau pun merasakan sedih yang sama denganku. Terimakasih, Buk. Aku mencintaimu.





Tuesday, May 21, 2019

Surat Terbuka!





Teruntuk dia,
Aku sedang tak bisa diganggu. Aku sedang memikirkan tentang masa depan. Terfikirkan segala tentang ini dan itu. Apakah dia juga begitu? Aku yakin, iya. Karena kulihat dia mempunyai cita-cita dan rencana yang tertata rapi.

Kadang, selalu terfikir olehku untuk membagi keluh-kesah kesedihan setelah aku ditinggal almh. Nenek dengan dia. Satu yang aku inginkan, yaitu tempat sementara untuk berpulang. Namun, nyatanya hubunganku dengan dia tidak sedekat yang kubayangkan. Lucu, kan? Kalau misalnya tiba-tiba aku datang berderai air mata lalu meminta untuk ditenangkan? Pasti dia akan menganggap bahwa aku aneh atau apalah. Akan tetapi, aku sangat ingin melakukan itu ketika berada di dekatnya. Dan yang bisa kulakukan hanyalah menghindari dia dengan segala cara. Aku takut air mataku tak tertahankan ketika bertatap muka dengannya.

Kini, kupendam ini sendirian. Terlalu jauh jarak yang sudah kubuat dengannya sehingga tak ada lagi kesempatan agar menjadi akrab. Aku juga yakin, dia sudah teguh pada pendiriannya. ‘Tak ingin mengenalku lagi’. Sedih jujur, namun apa daya? Sebenarnya ada cara untuk menariknya kembali ke sisiku. Yaitu memperlihatkan ‘kelemahanku’. Bisa saja kalau kuperlihatkan kelemahanku, mungkin dia akan segera berbalik dan menenangkanku. Sungguh, maafkan keegoisanku yang tidak mau selalu terlihat lemah.

Detik demi detik berjalan, aku hanya bisa melihatnya dari kejauhan. Masih kurasakan getaran aneh saat manik mataku bersitatap dengan manik mata miliknya. Namun, kini sepertinya hanya aku yang merasakan getaran itu. Kulihat dari kejauhan, dia amat sangat memusuhiku. Tapi, tak apa. Masih kulihat senyum itu mengembang, meski bukan lagi untukku. Sudah ada satu gadis yang menggantikan posisiku yang sementara ini. Kuharap dia bisa menetap dan bisa selalu terjaga untuk menemaninya. Meski hati kecilku berkata, “Aku ingin berada di posisi gadis itu lagi.
Teruntuk dia, terimakasih atas segala senyum dan perhatian yang sudah kau berikan. Aku begitu menghargainya. Aku begitu senang mengenang kembali saat-saat dekat dengannya. Dan jujur, aku menginginkan hal itu kembali terjadi. Meski untuk yang terakhir kali.

Terimakasih pernah menjadikanku serasa bagai ratu. Terimakasih pernah sangat menghargaiku. Dan terimakasih untuk nasehatnya. Aku ingat Dia memeragakan air dengan tangan kirinya, lalu berkata, “Kalau kau terus seperti ini kau akan selalu ada di posisi ini” kini, dia peragakan tangan kanannya dan meletakkannya di bawah tangan kiri nya) Ia ibaratkan tangan kirinya adalah air yang pasang dan tangan kanannya berada di bawah. Ia ibaratkan tangan kanannya itu adalah aku. Yang artinya kalau aku berada di bawah terus, aku akan selalu ada dalam 'ketenggelaman'. Sungguh, kuhargai nasehatnya.

Dia ingin aku menjadi kuat agar tak selalu tenggelam. 

Namun, ketahuilah . Banyak sekali kata yang ingin kutanyakan untuknya. Tentang bagaimana bisa aku keluar dari “ketenggelaman” ku ini ketika tak ada lagi satupun kapal ataupun ikan yang akan membantuku naik ke permukaan. Bagaimana caranya? Sedangkan aku sudah kehabisan oksigen dan hanya bisa bersembunyi di balik karang. Kedinginan dan menggigil. Pernah kucoba untuk keluar SENDIRI dari karang. Tapi, sial. Ada ikan hiu yang senantiasa berjaga di sekitar karang.

Maukah dia membantuku keluar dari ketenggelaman ini?

            Teruntuk dia, selamat tinggal. Entah haruskah aku berkata ‘sampai bertemu lagi‘ atau tidak. Apakah diriku masih sanggup temuinya yang bersama gadis lain? Hanya waktu yang dapat menjawabnya. Apakah aku berakhir dengan dia. Atau aku akan mendapatkan jodoh lain yang tak kusangka-sangka.

2 years i can't stop loving you. And now, i just want to say that until the end i can't forget you.

            Dari yang tak ingin dikenal,
Aku

            Aku bukan sosok yang melankonis atau cengeng.
            Aku hanya ingin mengutarakan perasaanku.
            Itu saja.



Saturday, May 4, 2019

Happy Graduate!


Masa Taman Kanak-kanak telah lama terlampaui...
Putih Merah berlalu...
Putih Biru melekat di ingatan...
Kini, Putih Abu-abu segera usai...

Dalam setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Maknai kata itu. Manusia lalu lalang datang dan pergi dalam hidup kita. Setiap hari hidup kita diisi dengan datang pergi.

Berangkat, Pulang. Menghirup nafas, Menghembuskan nafas. Lahir, Mati. Buka, Tutup.

Makna datang dan pergi sering terjadi di sekitar kita. Namun, kita tidak terlalu mempedulikannya.

Menangis sejenak tak apa. Itu manusiawi sekali. Tapi ingatlah transisi kelanjutan semua ini.

Kita harus kembali berangkat. Menghirup nafas lagi. Lahir kembali. Membuka jalan lagi.

Life still rotate. Don't sad saatnya buka lembaran baru.

HAPPY GRADUATE.

Friday, April 19, 2019

Bapak dan Ibu


          
Hari ini aku ingin membahas mengenai hubungan anak dan kedua orangtua. Ketika membahas mengenai orangtua, aku tahu kita datang dari berbagai latar belakang yang berbeda. Orangtua kita semua berbeda. (iya tahu, maksudnya sifat orangtua kita yang beda). Kelengkapan orangtua kita pun berbeda. Orangtua yang mengurus kita berbeda. Kali ini, aku akan menceritakan sedikit mengenai keluargaku. Dulu, ketika membahas tentang orangtua, aku selalu minder. Aku ngerasa menceritakan hal-hal yang berkaitan dengan orangtua adalah hal tabu. Bahkan aku menganggap kalau orangtua  adalah aib. (Durhaka sih, dulu itu).

Misalnya, Ketika aku dapat  pertanyaan “Memangnya ayahmu dimana?” Sungguh, rasanya ingin aku berlari ketika dikasih pertanyaan itu. Kenapa harus lari? Ya alasannya adalah karena aku malu. Karena jawaban jujurnya adalah Ayah dan Ibuku sudah bercerai ketika aku masih berada dalam kandungan. Kalau sudah ditanya, "Ayahmu dimana?" Biasanya aku hanya akan menjawab, “Ayah dan Ibuku udah cerai.” Setelah aku menjawab begitu, biasanya suasana teman-teman jadi berubah seakan-akan dia baru saja bertanya "Kapan kamu mati?" dan aku menjawab, "Mungkin besok". Sedari mulai aku SD, SMP, bahkan sampai sekarang, aku selalu menghindari pertanyaan tentang Ayah.

Karena aku adalah anak yatim (Bapakku masih hidup, sih. Tapi aku nggak pernah ketemu lagi semenjak aku kelas 2 SD), aku merasa menjadi minoritas di kelas. Maksudku adalah, berapa persen sih orangtua di kelas kalian yang sudah bercerai? Bahkan aku sering merasa lebih baik ketika menjawab kalau bapakku udah beneran meninggal. Maka, tidak ada lagi pertanyaan berikutnya. Masak iya mereka akan bertanya, “Kenapa Bapak lo meninggal?” Nggak mungkin, kan. Karena kita semua tahu meninggal itu adalah suatu takdir. Jadi, nggak akan ada rasa aneh ketika jawabannya begitu. Nah, kalau masalah perceraian? 
Ya, itulah salah satu alasan kenapa aku merasa pertanyaan tentang orangtua adalah aib.

Selama 17 tahun aku hidup, aku hanya tinggal bersama nenek dan ibuku. Lagi-lagi ini menjadi pertanyaan yang aneh gitu. Tiga cewek tinggal satu rumah tanpa sosok laki-laki? SERIUSAN? Dulu, aku selalu ngerasa itu adalah aib juga. Nggak tahu, ya. Karena di mataku, keluarga yang ‘normal’ itu adalah keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu, dan  Anak.  Pun, aku kecil selalu menginginkan keberadaan figur laki-laki dalam keluarga. Stigma dari lingkungan dan apa yang ku lihat sejak kecil adalah suatu hal yang benar-benar tertanam dalam mainsetku. Seakan-akan ketika aku bercerita kalau keluarga gue yang hanya beranggotakan Nenek dan Ibu, keluarga gue adalah keluarga paling aneh di muka bumi ini. Society kita yang bikin gue berpikiran begitu. Mana pernah ada yang ngerasa bersimpatik sama keluarga ku? Atau seenggaknya menghargai keluarga gue yang notabene-nya terdiri dari para perempuan. Mana ada?

Tapi, sekarang gue menyesali itu. Gue menyesali sikap gue yang mengutuk keluarga gue. I mean, seharusnya dari dulu gue selalu membanggakan keluarga gue. Ini hlo.... tiga wonder woman yang sanggup hidup tanpa figur cowok. Inilah kami. Hei! Cewek nggak selemah yang dikira. Buktinya, gue dan keluarga kecil gue mampu hidup tanpa kekurangan. Meski pertengkaran hebat sering terjadi, kami tetap selalu bertiga.



Disini, aku ingin mengakui sesuatu. Aku bener-bener menyesal atas perlakuan-perlakuan buruk yang kurang sopan ke Almh. Nenek. (Iya, hari ini aku tinggal berdua saja sama Ibu. Tanpa superhero kami).

Aku yang sedari kecil terlatih hidup dimanja, disayang-sayang, tidak diajarkan berusaha, aku sering merajuk ketika keinginanku tidak diwujudkan. Aku pernah membentak Nenek dan Ibu, karena mereka sering bertengkar. Aku yang hampir setiap hari menyalahkan nasib. Rasanya Tuhan nggak adil.

Hari ini, Nenekku telah tiada. Meskipun maaf sudah terucap, aku selalu ngerasa jadi cucu yang tidak baik. Aku masih sering ngerasa bersalah. Aku tidak menyadari, Nenek bergulat dengan penyakitnya diam-diam. Nenek berjuang gila-gilaan untukku.

Lalu, apa yang sudah ku lakukan? Aku hanya menyalahkan takdir, menyalahkan Tuhan atas apa yang telah terjadi dalam hidup. Dan itu adalah hal yang amat sangat salah. Mungkin ketika kalian baca ini kalian akan punya pemikiran, “Kok kamu buka aib keluarga, sih? Ini nggak pantes diceritain.”

            Nggak.

Mulai hari ini aku nggak akan menutupi lagi apa-apa tentang keluargaku. Aku hanya tinggal bersama Ibu. Ayahku udah bercerai sama Ibu. Dan aku pernah punya satu superhero dalam hidup. Yaitu Almh. Nenekku. Keluarga bagiku udah bukan aib lagi. Tapi, dengan bercerita sejujur-jujurnya tentang keluargaku bukan berarti aku ingin dikasihani. Enggak. Aku benci dikasihani. 

Dengan bercerita sejujur-jujurnya tentang keluargaku, berarti aku sudah berdamai dengan masa lalu. Ini berarti aku sudah ikhlas menerima apa yang terjadi di hidupku dan mensyukuri nikmat yang sudah Tuhan berikan beserta hikmahnya. Aku baru sadar, aku istimewa. Seenggaknya bagi diriku sendiri. Nggak semua orang bisa bertahan dengan keluarga yang berantakan.
Tapi alhamdulillah, dengan percaya sama Tuhan, apapun bisa terlewati dengan baik.
           
Pesanku ke kalian semua yang keluarganya bermasalah adalah seburuk apapun sikap orangtua, bagaimanapun orangtua bersikap, mereka tetap orangtua kalian. Cuy, kalau misalkan kamu ngerasa orangtua kamu salah, kamu ngerasa keluargamu salah, bukan berarti kamu harus menyalahkan orangtuamu, bukan berarti kamu harus lari dari orangtuamu, apalagi menyalahkan Tuhan atas apa yang terjadi sama keluarga kamu.

Kamu. Harus. Mengubah. Diri.

Aku tidak seagamis pemuka agama. Aku masih belajar dan struggle untuk keluar dari masalah. Kita sama. Lalu, kenapa aku nyuruh kamu yang mengubah diri? Apakah ini semua salah kamu? Salah kamu dilahirkan di dunia? Nggak. Ini memang bukan salahmu. Tapi, ketahuilah, ketika kamu selalu menyalahkan orangtuamu, semuanya nggak akan berubah. Terlebih kalo kamu menyalahkan Tuhan. ITU SALAH BESAR.

Hati orangtuamu, bukan kamu yang pegang. Ego orangtuamu bukan kamu juga yang pegang. Pandangan negatif orang lain bukan kamu yang pegang. Tapi, kamulah yang memegang takdir. Bukan, kamu bukan Tuhan. Maksudku adalah, perbaikilah segalanya mulai dari diri sendiri. Bersihkan hati kamu dari sikap selalu menyalahkan sesuatu.

Berdamailah sama diri lo sendiri.

Dulu, almh. Nenekku adalah orang yang gila harta. Beliau selalu memikirkan gimana, gimana, gimana besok kalau tidak ada lagi harta. Aku selalu dituntut untuk pelit. Nggak peduli sama orang lain. Dan sebenernya itu bukan aku banget, meski sifat itu hari ini malah jadi mengakar dalam diriku. Dulu, aku seringkali menentang beliau. Beliau bicara keras, aku balas lebih keras. Beliau mengumpat, aku bales cacian. Nggak berhasil.

Beliau seringkali memarahiku. Gara-gara hal sepele. Sampai akhirnya aku capek, aku memilih diem aja. Tapi dengan diamnya diriku, beliau merasa begitu menang. Berkuasa dalam keluarga. Dan itu sangat tidak baik. Aku tiap hari bingung mikirin cara apa, gimana supaya keluarga kami tidak bercerai-berai. 

Aku merubah sikap. Aku melunak. Aku sadar, amarah nggak bisa dibalas amarah. Aku sadar, amarah yang membumbung juga nggak bisa dibiarkan terlalu lama. Maka, hari itu aku merubah diri. Aku menuruti apa yang beliau katakan selama itu baik, dan aku mencoba menasehati ketika apa yang beliau minta melenceng dari perintah Tuhan. Kadang beliau tidak terima dengan kata-kataku. Tapi, aku tetap mencoba memberi tahu. Meski kadang kala masih kuselingi emosi, tapi lama kelamaan aku mencoba berbicara selemah dan selembut mungkin sampai beliau menyadari kalau aku berubah.

Dan hari itu.

Beliau sakit. Sakit untuk terakhir kali. Perasaanku campur aduk. Sedih. Sedih karena aku udah punya firasat. Tapi hatiku menghangat. Karena untuk pertama kalinya beliau mau mendengarkan nasehatku. Untuk pertama kalinya dia mau kembali lagi menjalani perintah Tuhan. Dan pertama kali itu menjadi yang terakhir kali juga karena Tuhan lebih sayang sama beliau. Aku belum pernah menceritakan ini ke siapapun. Karena butuh waktu untuk menyadari apa saja perubahan yang ada waktu itu. Waktu dimana aku takut kehilangan.

Tapi bersyukurlah aku. Hari ini, dengan menulis aku jadi ingat semuanya. Kepingan memori berurutan ketika menulis. Aku yang punya sakit ingatan jangka pendek, seenggaknya bisa ingat perasaan dan perubahan hari itu. Perubahan sikap beliau yang 'bertaubat' sebelum ajal. Yang aku baru sadari. Dan untuk mengingat lagi hari ini, hatiku perih sekaligus lega. Semoga amal ibadah beliau diterima di sisi Tuhan. Aamiin.

Percayalah, kunci dari semua ini adalah hubungan dirimu sama Tuhan. Yakin deh, kalau kamu punya hubungan baik dengan Tuhan, segalanya akan ikut membaik. Karena ketika kamu sendirian, kamu itu bukan siapa-siapa. Tapi, ketika kamu bersama Tuhan, kamu berarti segalanya.

Berdamailah sama diri kamu sendiri.


Lihat takdir yang ada di genggaman.
Maukah kamu berdamai dengan diri sendiri?
Perlukah kamu berubah menjadi pribadi yang lebih baik? Kamu pilih mana?
Hidup lebih baik atau hidup lebih buruk?

Tanya hatimu.

           

Kebisingan dalam Sunyi

 Halloha Journey! Sudah lama tidak curhat di sini. Jadi, langsung ingin curhat saja. Jadi, beberapa hari ini aku lagi suka nonton Jurnalrisa...