Friday, May 24, 2019

Tentang Ramadhan

Hasil gambar untuk ramadhan

"Nduk, Ayo bangun. Sahur dulu." Sayup-sayup ku dengar suara lembut disertai tangan yang setengah menggoncangkan tubuhku. 
"Kamu puasa, nggak?"
Aku mulai terusik, perlahan ku buka mata dan melirik ke arah jam yang tergantung manis di dinding kamar. Pukul 03.15.
Tanpa mengeluarkan sepatah katapun, aku bangun dan turun dari tempat tidur kemudian menuju ke ruang tamu. Bau ikan sarden, lauk kesukaanku, langsung menusuk ke hidungku.

"Nyoh. Ngombe sek." (Ini. Minum dulu) Ucap beliau yang datang dari dapur dan membawakan teh manis. Ia memberikan teh manis itu kepadaku. Aku masih setengah mengantuk dengan mata yang sedikit tertutup. Ku coba untuk membuka mata agar aku benar-benar bangun.

Ku lihat beliau melangkah ke arah televisi dan menyalakannya, mengarahkan televisi ke acara sahur kesukaan kami. Aku masih mencoba sadar untuk bisa makan. Kalau kalian bertanya, "Kenapa kamu sahur jam 3? Bukankah lebih baik mengakhirkan waktu sahur?"

Jadi, biasanya ogut selalu sholat dulu sebelum sahur. Makdarit, (Maka dari itu) aku selalu minta dibangunkan jam 3 pagi. Nggak selalu, sih. Kadang pun saya baru mau bangun jam 4. Hueueueue..
Alasan lain mengapa bangun lebih pagi adalah karena saya kalau makan sahur itu pasti lamaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa banget. Mengumpulkan nyawa dan bisa bangun pun butuh waktu hampir setengah jam. Bayangkan kalau saya bangun jam 4, mengumpulkan nyawa 10 menit, padahal jam segitu sudah waktunya imsak. Belum lagi saya kalau makan masih ngantuk-ngantuk gitu lamanya na'udzubillah. Ntar malah kagak jadi sahur.

Ku lihat beliau melangkah ke kamar Ibu, untuk membangunkan Ibuku yang akan sahur. Huh, aku jadi merindukan Nenek. Dulu, ketika beliau masih ada, beliau yang paling repot dan ribet mempersiapkan menu makan sahur. Nenek memang sudah tak lagi berpuasa, namun beliaulah yang repot-repot bangun pagi-pagi sekali karena mempersiapkan sahur untukku dan Ibu.

Saya pun juga kadang bangun dan membantu mempersiapkan sahur, tapi dalam sebulan, mungkin hanya bisa dihitung dengan jari kapan saya membantu beliau manyiapkan sahur. Selebihnya, saya baru bangun ketika beliau selesai menyiapkan makanan untuk sahur.

Biasanya ketika suasana hati kami sedang baik, kami berkumpul di ruang tamu untuk sahur dan mengobrol sembari menonton acara sahur di televisi. Aku rindu suasana seperti itu.

Saat aku dan Ibu sahur, biasanya Nenek tidak tidur. Beliau masih menunggui kami ketika sahur. Bahkan, setelah ku ingat-ingat lagi, kalau misalnya aku sama sekali tidak bersemangat sahur, beliaulah yang turun tangan. Menyuapiku. Kadang ada saat dimana aku sangat malas untuk makan sahur dan mencoba untuk tidak sahur saja. Namun, beliau pasti langsung melarangku begitu.

Beliau selalu memastikan kalau aku sudah makan ketika sahur. Kalau aku tidak segera makan, beliau langsung menyuapiku entah hanya dapat beberapa sendok saja. Nenek selalu merasa tenang kalau aku sudah makan. Perhatian yang takkan pernah ku dapatkan lagi.

Dimanja sampai aku berumur 17 tahun.

Rasanya baru kemarin beliau menyuapiku dan mengeluh, "Wongtua kaya aku ngene ki mung enek 100 siji. Nduk, nduk, apa ana bocah gerang arep 17 tahun isih didulang kaya ngene?"

(Orangtua yang seperti aku hanya ada 1 dari seratus orangtua. Nduk, nduk, mana ada remaja yang usianya hampir 17 tahun kalau makan masih disuapi kayak gini?"

Benar juga. Dari sekian banyak orangtua, jarang sekali yang sesabar itu seperti beliau. Kalau aku ada di keluarga lain mungkin aku akan dibentak dan dimarahi karena minta disuapi. Tapi beliau tidak, beliau selalu sabar dan mau menyuapiku.

Ya, mungkin pernah satu kali beliau memarahiku. Aku tahu, mungkin beliau ingin aku mandiri karena suatu saat beliau takkan ada lagi di sini. Dan benar, Ramadhan tahun ini beliau benar-benar tak ada di sisiku.

Biasanya, beliau akan tidur kalau aku dan Ibuku sudah sholat Subuh. Tapi tidak selalu juga, kadang beliau tetap terjaga dan menungguiku sampai aku berangkat sekolah. Pernah suatu hari, setelah aku sholat Subuh, beliau sudah terlelap di kasurnya. Dilihat dari posisinya tidur, beliau begitu kecapekan sekali. Ku tutupi tubuhnya dengan selimut. Aku hanya berdiri di samping ranjang dan menatapnya sembari berkata, "Semoga lelahmu menjadi lillah. Aamiin."

Mungkin hanya 5 tahun beliau benar-benar mendampingiku di Bulan Ramadhan. Karena seingatku, aku benar-benar berpuasa full mulai ketika aku kelas VII SMP.

5 tahun yang sanggup membuatku bahagia dan sedih. Entahlah, banyak memori bergelantungan dalam otakku saat ini. Namun, tak sanggup kalau harus ku ceritakan segalanya.

Siapa yang menyangka kalau Ramadhan tahun lalu, adalah Ramadhan terakhir aku bisa bertemu Nenekku?

Siapa yang menyangka Ramadhan kemarin adalah Ramadhan termenyedihkan dalam hidupku yang sampai hari ini masih sedikit menimbulkan goresan luka.

Tak lagi aku mencium pipi keriputmu,
Tak lagi ku genggam jemari besarmu,
Tak lagi ku usap rambut berubanmu,
Tak lagi ku lihat senyum dari bibir tipismu,
Tak lagi ku dengar tawa lebarmu kala aku tak sengaja kentut di dekatmu,
Tak lagi ku potong kuku jari kaki dan tanganmu,
Tak lagi ku memanggil "Mbok"
Tak lagi kita berpelukan seperti dulu,
Tak lagi,...
Dan takkan lagi....

Aku rindu,
Aku rindu,
Aku rindu.....

Terimakasih untuk Ramadhan terakhir kita, Mbok.
Maaf kalau ku teteskan lagi air mata untuk kesekian kalinya..
Aku hanya rindu.

PS: Teruntuk Ibu, terimakasih telah berusaha sekuat tenaga menggantikan almh. Nenek. Ku tahu kalau kau terlihat tegar karena ingin aku tidak terlalu merasa kehilangan meski sebenarnya kau pun merasakan sedih yang sama denganku. Terimakasih, Buk. Aku mencintaimu.





No comments:

Post a Comment

Kebisingan dalam Sunyi

 Halloha Journey! Sudah lama tidak curhat di sini. Jadi, langsung ingin curhat saja. Jadi, beberapa hari ini aku lagi suka nonton Jurnalrisa...