Friday, April 19, 2019

Bapak dan Ibu


          
Hari ini aku ingin membahas mengenai hubungan anak dan kedua orangtua. Ketika membahas mengenai orangtua, aku tahu kita datang dari berbagai latar belakang yang berbeda. Orangtua kita semua berbeda. (iya tahu, maksudnya sifat orangtua kita yang beda). Kelengkapan orangtua kita pun berbeda. Orangtua yang mengurus kita berbeda. Kali ini, aku akan menceritakan sedikit mengenai keluargaku. Dulu, ketika membahas tentang orangtua, aku selalu minder. Aku ngerasa menceritakan hal-hal yang berkaitan dengan orangtua adalah hal tabu. Bahkan aku menganggap kalau orangtua  adalah aib. (Durhaka sih, dulu itu).

Misalnya, Ketika aku dapat  pertanyaan “Memangnya ayahmu dimana?” Sungguh, rasanya ingin aku berlari ketika dikasih pertanyaan itu. Kenapa harus lari? Ya alasannya adalah karena aku malu. Karena jawaban jujurnya adalah Ayah dan Ibuku sudah bercerai ketika aku masih berada dalam kandungan. Kalau sudah ditanya, "Ayahmu dimana?" Biasanya aku hanya akan menjawab, “Ayah dan Ibuku udah cerai.” Setelah aku menjawab begitu, biasanya suasana teman-teman jadi berubah seakan-akan dia baru saja bertanya "Kapan kamu mati?" dan aku menjawab, "Mungkin besok". Sedari mulai aku SD, SMP, bahkan sampai sekarang, aku selalu menghindari pertanyaan tentang Ayah.

Karena aku adalah anak yatim (Bapakku masih hidup, sih. Tapi aku nggak pernah ketemu lagi semenjak aku kelas 2 SD), aku merasa menjadi minoritas di kelas. Maksudku adalah, berapa persen sih orangtua di kelas kalian yang sudah bercerai? Bahkan aku sering merasa lebih baik ketika menjawab kalau bapakku udah beneran meninggal. Maka, tidak ada lagi pertanyaan berikutnya. Masak iya mereka akan bertanya, “Kenapa Bapak lo meninggal?” Nggak mungkin, kan. Karena kita semua tahu meninggal itu adalah suatu takdir. Jadi, nggak akan ada rasa aneh ketika jawabannya begitu. Nah, kalau masalah perceraian? 
Ya, itulah salah satu alasan kenapa aku merasa pertanyaan tentang orangtua adalah aib.

Selama 17 tahun aku hidup, aku hanya tinggal bersama nenek dan ibuku. Lagi-lagi ini menjadi pertanyaan yang aneh gitu. Tiga cewek tinggal satu rumah tanpa sosok laki-laki? SERIUSAN? Dulu, aku selalu ngerasa itu adalah aib juga. Nggak tahu, ya. Karena di mataku, keluarga yang ‘normal’ itu adalah keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu, dan  Anak.  Pun, aku kecil selalu menginginkan keberadaan figur laki-laki dalam keluarga. Stigma dari lingkungan dan apa yang ku lihat sejak kecil adalah suatu hal yang benar-benar tertanam dalam mainsetku. Seakan-akan ketika aku bercerita kalau keluarga gue yang hanya beranggotakan Nenek dan Ibu, keluarga gue adalah keluarga paling aneh di muka bumi ini. Society kita yang bikin gue berpikiran begitu. Mana pernah ada yang ngerasa bersimpatik sama keluarga ku? Atau seenggaknya menghargai keluarga gue yang notabene-nya terdiri dari para perempuan. Mana ada?

Tapi, sekarang gue menyesali itu. Gue menyesali sikap gue yang mengutuk keluarga gue. I mean, seharusnya dari dulu gue selalu membanggakan keluarga gue. Ini hlo.... tiga wonder woman yang sanggup hidup tanpa figur cowok. Inilah kami. Hei! Cewek nggak selemah yang dikira. Buktinya, gue dan keluarga kecil gue mampu hidup tanpa kekurangan. Meski pertengkaran hebat sering terjadi, kami tetap selalu bertiga.



Disini, aku ingin mengakui sesuatu. Aku bener-bener menyesal atas perlakuan-perlakuan buruk yang kurang sopan ke Almh. Nenek. (Iya, hari ini aku tinggal berdua saja sama Ibu. Tanpa superhero kami).

Aku yang sedari kecil terlatih hidup dimanja, disayang-sayang, tidak diajarkan berusaha, aku sering merajuk ketika keinginanku tidak diwujudkan. Aku pernah membentak Nenek dan Ibu, karena mereka sering bertengkar. Aku yang hampir setiap hari menyalahkan nasib. Rasanya Tuhan nggak adil.

Hari ini, Nenekku telah tiada. Meskipun maaf sudah terucap, aku selalu ngerasa jadi cucu yang tidak baik. Aku masih sering ngerasa bersalah. Aku tidak menyadari, Nenek bergulat dengan penyakitnya diam-diam. Nenek berjuang gila-gilaan untukku.

Lalu, apa yang sudah ku lakukan? Aku hanya menyalahkan takdir, menyalahkan Tuhan atas apa yang telah terjadi dalam hidup. Dan itu adalah hal yang amat sangat salah. Mungkin ketika kalian baca ini kalian akan punya pemikiran, “Kok kamu buka aib keluarga, sih? Ini nggak pantes diceritain.”

            Nggak.

Mulai hari ini aku nggak akan menutupi lagi apa-apa tentang keluargaku. Aku hanya tinggal bersama Ibu. Ayahku udah bercerai sama Ibu. Dan aku pernah punya satu superhero dalam hidup. Yaitu Almh. Nenekku. Keluarga bagiku udah bukan aib lagi. Tapi, dengan bercerita sejujur-jujurnya tentang keluargaku bukan berarti aku ingin dikasihani. Enggak. Aku benci dikasihani. 

Dengan bercerita sejujur-jujurnya tentang keluargaku, berarti aku sudah berdamai dengan masa lalu. Ini berarti aku sudah ikhlas menerima apa yang terjadi di hidupku dan mensyukuri nikmat yang sudah Tuhan berikan beserta hikmahnya. Aku baru sadar, aku istimewa. Seenggaknya bagi diriku sendiri. Nggak semua orang bisa bertahan dengan keluarga yang berantakan.
Tapi alhamdulillah, dengan percaya sama Tuhan, apapun bisa terlewati dengan baik.
           
Pesanku ke kalian semua yang keluarganya bermasalah adalah seburuk apapun sikap orangtua, bagaimanapun orangtua bersikap, mereka tetap orangtua kalian. Cuy, kalau misalkan kamu ngerasa orangtua kamu salah, kamu ngerasa keluargamu salah, bukan berarti kamu harus menyalahkan orangtuamu, bukan berarti kamu harus lari dari orangtuamu, apalagi menyalahkan Tuhan atas apa yang terjadi sama keluarga kamu.

Kamu. Harus. Mengubah. Diri.

Aku tidak seagamis pemuka agama. Aku masih belajar dan struggle untuk keluar dari masalah. Kita sama. Lalu, kenapa aku nyuruh kamu yang mengubah diri? Apakah ini semua salah kamu? Salah kamu dilahirkan di dunia? Nggak. Ini memang bukan salahmu. Tapi, ketahuilah, ketika kamu selalu menyalahkan orangtuamu, semuanya nggak akan berubah. Terlebih kalo kamu menyalahkan Tuhan. ITU SALAH BESAR.

Hati orangtuamu, bukan kamu yang pegang. Ego orangtuamu bukan kamu juga yang pegang. Pandangan negatif orang lain bukan kamu yang pegang. Tapi, kamulah yang memegang takdir. Bukan, kamu bukan Tuhan. Maksudku adalah, perbaikilah segalanya mulai dari diri sendiri. Bersihkan hati kamu dari sikap selalu menyalahkan sesuatu.

Berdamailah sama diri lo sendiri.

Dulu, almh. Nenekku adalah orang yang gila harta. Beliau selalu memikirkan gimana, gimana, gimana besok kalau tidak ada lagi harta. Aku selalu dituntut untuk pelit. Nggak peduli sama orang lain. Dan sebenernya itu bukan aku banget, meski sifat itu hari ini malah jadi mengakar dalam diriku. Dulu, aku seringkali menentang beliau. Beliau bicara keras, aku balas lebih keras. Beliau mengumpat, aku bales cacian. Nggak berhasil.

Beliau seringkali memarahiku. Gara-gara hal sepele. Sampai akhirnya aku capek, aku memilih diem aja. Tapi dengan diamnya diriku, beliau merasa begitu menang. Berkuasa dalam keluarga. Dan itu sangat tidak baik. Aku tiap hari bingung mikirin cara apa, gimana supaya keluarga kami tidak bercerai-berai. 

Aku merubah sikap. Aku melunak. Aku sadar, amarah nggak bisa dibalas amarah. Aku sadar, amarah yang membumbung juga nggak bisa dibiarkan terlalu lama. Maka, hari itu aku merubah diri. Aku menuruti apa yang beliau katakan selama itu baik, dan aku mencoba menasehati ketika apa yang beliau minta melenceng dari perintah Tuhan. Kadang beliau tidak terima dengan kata-kataku. Tapi, aku tetap mencoba memberi tahu. Meski kadang kala masih kuselingi emosi, tapi lama kelamaan aku mencoba berbicara selemah dan selembut mungkin sampai beliau menyadari kalau aku berubah.

Dan hari itu.

Beliau sakit. Sakit untuk terakhir kali. Perasaanku campur aduk. Sedih. Sedih karena aku udah punya firasat. Tapi hatiku menghangat. Karena untuk pertama kalinya beliau mau mendengarkan nasehatku. Untuk pertama kalinya dia mau kembali lagi menjalani perintah Tuhan. Dan pertama kali itu menjadi yang terakhir kali juga karena Tuhan lebih sayang sama beliau. Aku belum pernah menceritakan ini ke siapapun. Karena butuh waktu untuk menyadari apa saja perubahan yang ada waktu itu. Waktu dimana aku takut kehilangan.

Tapi bersyukurlah aku. Hari ini, dengan menulis aku jadi ingat semuanya. Kepingan memori berurutan ketika menulis. Aku yang punya sakit ingatan jangka pendek, seenggaknya bisa ingat perasaan dan perubahan hari itu. Perubahan sikap beliau yang 'bertaubat' sebelum ajal. Yang aku baru sadari. Dan untuk mengingat lagi hari ini, hatiku perih sekaligus lega. Semoga amal ibadah beliau diterima di sisi Tuhan. Aamiin.

Percayalah, kunci dari semua ini adalah hubungan dirimu sama Tuhan. Yakin deh, kalau kamu punya hubungan baik dengan Tuhan, segalanya akan ikut membaik. Karena ketika kamu sendirian, kamu itu bukan siapa-siapa. Tapi, ketika kamu bersama Tuhan, kamu berarti segalanya.

Berdamailah sama diri kamu sendiri.


Lihat takdir yang ada di genggaman.
Maukah kamu berdamai dengan diri sendiri?
Perlukah kamu berubah menjadi pribadi yang lebih baik? Kamu pilih mana?
Hidup lebih baik atau hidup lebih buruk?

Tanya hatimu.

           

Kebisingan dalam Sunyi

 Halloha Journey! Sudah lama tidak curhat di sini. Jadi, langsung ingin curhat saja. Jadi, beberapa hari ini aku lagi suka nonton Jurnalrisa...