Showing posts with label SERIUS. Show all posts
Showing posts with label SERIUS. Show all posts

Saturday, June 26, 2021

Dilema Kerudung

 Halloha Journey!


Di pertengahan tahun 2021 ini, aku ingin sedikit berbagi cerita tentang bagaimana awalnya aku memakai kerudung. Aku mulai memakai kerudung semenjak kelas 2 SMK. Which is sekarang sudah sekitar 3 tahun lebih, dimana saat pertama kali aku memakai kerudung, di saat itu juga aku memutuskan untuk berhijrah.

Aku lahir di keluarga yang memeluk agama Islam. If you not really knowing about me, aku dulu hanya tinggal bersama Nenek (almh) dan Ibuku saja. Jadi, dalam lingkup keluarga, hanya merekalah yang kujadikan cermin ketika melihat dan memutuskan sesuatu. Sebenarnya, Nenek dan Ibuku tidak terlalu "islami" sekali. Dan itulah, salah satu alasan yang membuatku bertanya-tanya. "Kalau tidak sepenuhnya menjalani syariat agama Islam, lalu kenapa harus Islam?" 

Masalahnya, Nenek dan Ibu bukanlah tipe orangtua yang akan memarahiku ketika aku tidak menjalankan ibadah sholat. Nenek dan Ibuku juga tak menyuruhku belajar mengaji seperti layaknya anak-anak kecil sebayaku pada saat itu. Bahkan, Nenek bilang padaku agar tak usah memaksakan berpuasa kalau memang tidak kuat (padahal aku masih kecil dan baru belajar, makanya aku waktu itu juga mengira puasa bukan hal penting). Itulah gambaran sedikit, bahwa sedari kecil aku dekat dengan Islam tapi tak "mengenalinya".

Aku sungguh jauh dari itu tapi aku juga nggak terlalu 'curious' sama agama aku sendiri. Even, aku sholat itu di saat aku masih kecil, dan itu pas lagi bulan Ramadhan. Ibuku berangkat ke masjid, dan kadang-kadang aku sering ikut beliau. Pas Taman Kanak-kanak, aku juga pernah ikut lomba sholat, sih. Tapi tentu saja aku mana paham kalau sholat itu memang bagian dari agamaku. Waktu dimana aku benar-benar tahu sholat adalah ketika aku menginjak kelas 2 SD. And the saddest thing is, i know about "Sholat" itu dari pelajaran Agama ketika di sekolah. Nenek dan Ibu nggak pernah literally mengajarkan apa dan bagaimana sholat kepadaku. Alhasil, aku belajar sendiri ketika aku sudah bisa baca tulis.

Islam yang ku tahu saat itu adalah agama semua orang yang sudah otomatis dianut sedari bayi. Even though kita akan agree kepada agama kita atau tidak, kukira semua orang memang terlahir sebagai muslim. Sampai saat dimana di sekolah, saat Sekolah Dasar juga, aku berteman dekat dengan kawanku yang beragama non muslim (I'm not really remember, tapi yang jelas agamanya Katolik atau Kristen). Dan saat masih kecil aku juga bertetangga dengan keluarga yang menganut agama Budha.

Dan sampai di mana ketika sekolah, aku mendapat materi di mapel PKN, kalau agama di negara kita itu ada 5. Dude, aku baru sadar kalau misalkan aku nggak sekolah gitu aku bakalan tahu dari mana, ya? *Uhuk. Okay.

I have an interesting question to all of you, guys. Aku itu ngerasa entah kenapa tiba-tiba banyak banget orang yang memutuskan memakai kerudung ketika waktu antara aku SMP dan mulai masuk SMK. Hingga sekarang. Ini sih kayaknya emang gara-gara unsur Islam tuh nggak terlalu kental di lingkunganku kali, ya? Lagipula aku sekolah kan juga di sekolah yang Negeri mulu, sih. Beda kali ceritanya kalau aku sekolah di tempat yang berbasis Islam.

But, in my memory, i remember that some of my mother's friend not wearing a veil when i was a child. And suddenly, antara aku SMK dan ketemu sebagian dari temen-temen kecilku, banyak dari mereka sekarang yang berhijab. Bahkan ibu mereka juga. Yang mana aku ingat dulu beliau tidak pakai kerudung, gitu. Ya nggak semua juga yang pakai kerudung. But, most of them. Soalnya kalau diinget-inget yang pakai kerudung cuma satu dua. Tapi tiba-tiba banyak yang pakai kerudung. Termasuk aku. Can you explain to me, why?

Aku sebelum hijrah, tentu saja melihat kerudung itu selayaknya fashion saja. Hanya aksesori dalam berpakaian, yang kalau lu nggak kepingin pakai, ya boleh. Karena literally, tetangga-tetanggaku, orang-orang yang dekat sekali denganku, mostly mereka itu memang Islam. Beliau-beliau ini baik sama semua orang. Menunaikan ibadah sholat juga. But, most of them not wearing a veil. Yang aku ingat, orang-orang pakai kerudung hanya ketika Idul Fitri :( that's why i'm not really knowing about hijab.

Sebenernya aku disaat itu tuh nggak nakal juga. Kalau inget sholat, ya sholat. Kalau lupa, ya namanya juga manusia. Aku juga mulai ngaji pas diajakin temenku. Hafalan Quranku terbilang cepat juga padahal nggak pernah diajarin pas di rumah. Ku kira Islam hanya seputar itu. Nenek dan Ibuku juga nggak pakai kerudung. Jadi kenapa aku harus pakai? 

Sebenarnya kalau bisa dibilang, aku memakai kerudung dengan sedikit tekanan. Nggak usah dijelaskan detail siapa saja yang menanyai aku soal kerudung di saat SMK itu. Ya, gimana ya? Aku dengan background agamaku yang seperti itu dan minim pengetahuan soal Islam. Terus temen-temenku yang di SMP nggak memakai kerudung, suddenly pada pakai kerudung, gitu. Ya, sih. Mungkin ini karena aku nggak pernah belajar tentang agamaku sendiri dengan baik. I realized that. Aku ingat sekali pada saat itu, ada beberapa yang nanya ke aku, "kapan pakai jilbab?". You should know, kalau kamu sedang berada dalam fase 'nggak tahu apa-apa' kayak aku, terus ditanyain begitu, pasti bingung.

Itulah awal mula dimana aku mulai mencari tahu tentang perintah memakai jilbab. Ya kalau bisa dibilang itu karena aku lama-lama risih ketika temenku pada pakai, sedangkan aku enggak. Akan tetapi, aku saat itu bener-bener nggak mau kalau aku pakai hanya karena terpaksa atau karena ditanyain mulu. 

Tibalah saat dimana aku mulai follow akun-akun dakwah. Dan entah begimane aku sering ketemu postingan yang isinya ajakan untuk memakai kerudung. Saat itu aku sudah tahu ternyata kerudung itu wajib bagi setiap muslim. Dan buanyak banget sindiran-sindiran yang menampar gitu untuk aku yang posisinya sudah baligh ini dan belum memakai kerudung. 

Dan suatu hari, aku baca sebuah postingan yang kurang lebih begini, "Satu langkah anak perempuan keluar dari rumah dan memperlihatkan helaian rambutnya (tidak berjilbab), maka selangkah pula ayahnya masuk ke nereka." And i was like, Ya bodo amatlah. Ayahku aja nggak berperan apa-apa dalam kehidupanku. Aku cuma tahu agamaku dengan belajar. Mana pernah dia membimbingku soal ini. Ayah nggak ngajarin aku apa-apa soal agama dan nggak pernah peduli sama aku. Terus kenapa aku harus memakai jilbab dan menyelamatkan beliau yang katanya adalah "bapakku" ini. Nggak masuk akal. Aku seegois itu dulu. Mulai dari tweet itu, aku malah semakin nggak ingin pakai kerudung. 

Waktu masih terus berjalan. Teman dekatku masih ada yang bertanya kapan aku pakai kerudung. Even, my teacher asked me about this things. Aku ingat sekali. Dia adalah guru Seni Rupa. Saat itu dia tanya, "Kamu nggak ada keinginan pakai jilbab?" Dan entah kenapa saat itu nadanya seperti seorang Ayah yang bertanya kepada anaknya dengan sungguh-sungguh. Aku bilang, "Belum, Pak. Tapi masih saya pikirkan lagi." Beliau lalu menerangkan sedikit kalau jilbab itu sebuah kewajiban. Bukan pilihan. I know about that. Tapi entah kenapa air mataku ingin jatuh saat itu juga. Entahlah, saat itu aku tiba-tiba jadi orang yang mudah tersentuh. Mungkin itu salah satu faktor saat hidayah mulai datang.

But for your information, aku ketika nggak berjilbab, pakaianku juga lumayan tertutup. Sedari kecil aku lebih sering pakai celana yang panjangnya dibawah lutut. Meski aku nggak pernah pakai rok, tapi kalau pas sekolah, aku selalu disuruh pakai dalaman celana panjang oleh Nenekku. Jadi, meski nggak berjilbab, pakaianku juga nggak se-terbuka itu. Setelah waktu itu, aku sekali dua kali kadang kalau pergi, aku pakai jilbab. Dan aku sangat nyaman ketika memakainya.

Entah kenapa rasanya amat nyaman ketika mengenakan jilbab. Rasanya terlindungi entah oleh apa. I can't describe it. Aku jadi mikir di dalam kepalaku dan keegoisanku. Kalau kamu nggak pakai jilbab karena mau balas dendam pada Ayahmu, lalu apa bedanya kamu dengan Ayahmu? Aku mulai turunkan keegoisanku saat itu. Kalau aku tidak pernah bisa bertemu lagi sama Ayahku, mungkin hanya inilah satu-satunya cara agar aku berbakti kepada beliau. Sekecewa apapun aku dengan Ayah, aku nggak ingin jadi anak durhaka yang bahkan nggak pernah ketemu beliau. Sejak itu, aku nggak peduli Ayahku orang seperti apa, aku akan tetap berbakti kepada beliau. Kau harus tahu, sulit sekali untuk merasa ikhlas melakukan kebaikan. 

Dan aku memutuskan memakai jilbab, Karena aku sudah tahu itu adalah kewajiban bagi setiap muslimah. Lagipula, aku merasa sangat aman ketika memakainya. Tentang Ayah, anggap ini satu-satunya caraku berbakti. Aku sudah dewasa dan harus menentukan pilihanku sendiri dengan waras. Bukan dengan emosi sesaat yang menggurui. Karena sekecewa apapun aku dengan beliau, ada darah beliau yang mengalir di tubuhku sampai aku mati nanti. Itu sudah cukup untuk mengakui kalau aku masih mempunyai seorang Ayah, dan aku ingin berbakti padanya.

Reaksi Nenek ketika aku memakai jilbab ternyata biasa saja. Kukira Nenek akan melarangku saat itu. Tapi setelah dipikir lagi, beliau pasti lebih memilih aku berpakaian tertutup daripada terbuka. Jadi, Nenek mendukung saja apa yang kuputuskan. 

Terimakasih kepada akun-akun dakwah yang membantuku pada pencarianku tentang hijab.

Terimakasih pada teman-teman yang secara tidak langsung membantuku dalam proses hijrahku saat itu. Bantuan kalian sungguh berharga.

Aku tak bisa bilang kalau aku sekarang sudah istiqomah, but i tried. As a human, kadang naik turun iman membuat goyah. Keadaan juga mempengaruhi. Tapi semoga saja, aku tetap di jalan yang baik.


Ini ceritaku, gimana ceritamu? 🍒



Tertanda,



Nanda💫






Friday, May 24, 2019

Tentang Ramadhan

Hasil gambar untuk ramadhan

"Nduk, Ayo bangun. Sahur dulu." Sayup-sayup ku dengar suara lembut disertai tangan yang setengah menggoncangkan tubuhku. 
"Kamu puasa, nggak?"
Aku mulai terusik, perlahan ku buka mata dan melirik ke arah jam yang tergantung manis di dinding kamar. Pukul 03.15.
Tanpa mengeluarkan sepatah katapun, aku bangun dan turun dari tempat tidur kemudian menuju ke ruang tamu. Bau ikan sarden, lauk kesukaanku, langsung menusuk ke hidungku.

"Nyoh. Ngombe sek." (Ini. Minum dulu) Ucap beliau yang datang dari dapur dan membawakan teh manis. Ia memberikan teh manis itu kepadaku. Aku masih setengah mengantuk dengan mata yang sedikit tertutup. Ku coba untuk membuka mata agar aku benar-benar bangun.

Ku lihat beliau melangkah ke arah televisi dan menyalakannya, mengarahkan televisi ke acara sahur kesukaan kami. Aku masih mencoba sadar untuk bisa makan. Kalau kalian bertanya, "Kenapa kamu sahur jam 3? Bukankah lebih baik mengakhirkan waktu sahur?"

Jadi, biasanya ogut selalu sholat dulu sebelum sahur. Makdarit, (Maka dari itu) aku selalu minta dibangunkan jam 3 pagi. Nggak selalu, sih. Kadang pun saya baru mau bangun jam 4. Hueueueue..
Alasan lain mengapa bangun lebih pagi adalah karena saya kalau makan sahur itu pasti lamaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa banget. Mengumpulkan nyawa dan bisa bangun pun butuh waktu hampir setengah jam. Bayangkan kalau saya bangun jam 4, mengumpulkan nyawa 10 menit, padahal jam segitu sudah waktunya imsak. Belum lagi saya kalau makan masih ngantuk-ngantuk gitu lamanya na'udzubillah. Ntar malah kagak jadi sahur.

Ku lihat beliau melangkah ke kamar Ibu, untuk membangunkan Ibuku yang akan sahur. Huh, aku jadi merindukan Nenek. Dulu, ketika beliau masih ada, beliau yang paling repot dan ribet mempersiapkan menu makan sahur. Nenek memang sudah tak lagi berpuasa, namun beliaulah yang repot-repot bangun pagi-pagi sekali karena mempersiapkan sahur untukku dan Ibu.

Saya pun juga kadang bangun dan membantu mempersiapkan sahur, tapi dalam sebulan, mungkin hanya bisa dihitung dengan jari kapan saya membantu beliau manyiapkan sahur. Selebihnya, saya baru bangun ketika beliau selesai menyiapkan makanan untuk sahur.

Biasanya ketika suasana hati kami sedang baik, kami berkumpul di ruang tamu untuk sahur dan mengobrol sembari menonton acara sahur di televisi. Aku rindu suasana seperti itu.

Saat aku dan Ibu sahur, biasanya Nenek tidak tidur. Beliau masih menunggui kami ketika sahur. Bahkan, setelah ku ingat-ingat lagi, kalau misalnya aku sama sekali tidak bersemangat sahur, beliaulah yang turun tangan. Menyuapiku. Kadang ada saat dimana aku sangat malas untuk makan sahur dan mencoba untuk tidak sahur saja. Namun, beliau pasti langsung melarangku begitu.

Beliau selalu memastikan kalau aku sudah makan ketika sahur. Kalau aku tidak segera makan, beliau langsung menyuapiku entah hanya dapat beberapa sendok saja. Nenek selalu merasa tenang kalau aku sudah makan. Perhatian yang takkan pernah ku dapatkan lagi.

Dimanja sampai aku berumur 17 tahun.

Rasanya baru kemarin beliau menyuapiku dan mengeluh, "Wongtua kaya aku ngene ki mung enek 100 siji. Nduk, nduk, apa ana bocah gerang arep 17 tahun isih didulang kaya ngene?"

(Orangtua yang seperti aku hanya ada 1 dari seratus orangtua. Nduk, nduk, mana ada remaja yang usianya hampir 17 tahun kalau makan masih disuapi kayak gini?"

Benar juga. Dari sekian banyak orangtua, jarang sekali yang sesabar itu seperti beliau. Kalau aku ada di keluarga lain mungkin aku akan dibentak dan dimarahi karena minta disuapi. Tapi beliau tidak, beliau selalu sabar dan mau menyuapiku.

Ya, mungkin pernah satu kali beliau memarahiku. Aku tahu, mungkin beliau ingin aku mandiri karena suatu saat beliau takkan ada lagi di sini. Dan benar, Ramadhan tahun ini beliau benar-benar tak ada di sisiku.

Biasanya, beliau akan tidur kalau aku dan Ibuku sudah sholat Subuh. Tapi tidak selalu juga, kadang beliau tetap terjaga dan menungguiku sampai aku berangkat sekolah. Pernah suatu hari, setelah aku sholat Subuh, beliau sudah terlelap di kasurnya. Dilihat dari posisinya tidur, beliau begitu kecapekan sekali. Ku tutupi tubuhnya dengan selimut. Aku hanya berdiri di samping ranjang dan menatapnya sembari berkata, "Semoga lelahmu menjadi lillah. Aamiin."

Mungkin hanya 5 tahun beliau benar-benar mendampingiku di Bulan Ramadhan. Karena seingatku, aku benar-benar berpuasa full mulai ketika aku kelas VII SMP.

5 tahun yang sanggup membuatku bahagia dan sedih. Entahlah, banyak memori bergelantungan dalam otakku saat ini. Namun, tak sanggup kalau harus ku ceritakan segalanya.

Siapa yang menyangka kalau Ramadhan tahun lalu, adalah Ramadhan terakhir aku bisa bertemu Nenekku?

Siapa yang menyangka Ramadhan kemarin adalah Ramadhan termenyedihkan dalam hidupku yang sampai hari ini masih sedikit menimbulkan goresan luka.

Tak lagi aku mencium pipi keriputmu,
Tak lagi ku genggam jemari besarmu,
Tak lagi ku usap rambut berubanmu,
Tak lagi ku lihat senyum dari bibir tipismu,
Tak lagi ku dengar tawa lebarmu kala aku tak sengaja kentut di dekatmu,
Tak lagi ku potong kuku jari kaki dan tanganmu,
Tak lagi ku memanggil "Mbok"
Tak lagi kita berpelukan seperti dulu,
Tak lagi,...
Dan takkan lagi....

Aku rindu,
Aku rindu,
Aku rindu.....

Terimakasih untuk Ramadhan terakhir kita, Mbok.
Maaf kalau ku teteskan lagi air mata untuk kesekian kalinya..
Aku hanya rindu.

PS: Teruntuk Ibu, terimakasih telah berusaha sekuat tenaga menggantikan almh. Nenek. Ku tahu kalau kau terlihat tegar karena ingin aku tidak terlalu merasa kehilangan meski sebenarnya kau pun merasakan sedih yang sama denganku. Terimakasih, Buk. Aku mencintaimu.





Kebisingan dalam Sunyi

 Halloha Journey! Sudah lama tidak curhat di sini. Jadi, langsung ingin curhat saja. Jadi, beberapa hari ini aku lagi suka nonton Jurnalrisa...