Monday, September 27, 2021

Puisi Santuy

 

Memaafkan


Ialah luka yang tersayat

Cinta yang terbata

Jarak waktu pemicu akibat

Mengungkung rasa yang terikat

Kita tak lagi sama

Aku yang terlebih dulu inginkan dia

Putuskan tuk pergi

Berkhianat di atas segala janji

Kau pandang aku seraya kecewa

Dibalik tembok rapuh antara kita

Maaf, cinta

Aku tak pernah merasa cukup

Aku yang berlindung dibalik maaf

Sama sekali tak buatku sadar

Sesal gerogoti jiwa

Tak mampu jaga rasa percaya

Maafkan egoku ini

Yang ingin dicinta oleh dua hati




Saturday, June 26, 2021

Dilema Kerudung

 Halloha Journey!


Di pertengahan tahun 2021 ini, aku ingin sedikit berbagi cerita tentang bagaimana awalnya aku memakai kerudung. Aku mulai memakai kerudung semenjak kelas 2 SMK. Which is sekarang sudah sekitar 3 tahun lebih, dimana saat pertama kali aku memakai kerudung, di saat itu juga aku memutuskan untuk berhijrah.

Aku lahir di keluarga yang memeluk agama Islam. If you not really knowing about me, aku dulu hanya tinggal bersama Nenek (almh) dan Ibuku saja. Jadi, dalam lingkup keluarga, hanya merekalah yang kujadikan cermin ketika melihat dan memutuskan sesuatu. Sebenarnya, Nenek dan Ibuku tidak terlalu "islami" sekali. Dan itulah, salah satu alasan yang membuatku bertanya-tanya. "Kalau tidak sepenuhnya menjalani syariat agama Islam, lalu kenapa harus Islam?" 

Masalahnya, Nenek dan Ibu bukanlah tipe orangtua yang akan memarahiku ketika aku tidak menjalankan ibadah sholat. Nenek dan Ibuku juga tak menyuruhku belajar mengaji seperti layaknya anak-anak kecil sebayaku pada saat itu. Bahkan, Nenek bilang padaku agar tak usah memaksakan berpuasa kalau memang tidak kuat (padahal aku masih kecil dan baru belajar, makanya aku waktu itu juga mengira puasa bukan hal penting). Itulah gambaran sedikit, bahwa sedari kecil aku dekat dengan Islam tapi tak "mengenalinya".

Aku sungguh jauh dari itu tapi aku juga nggak terlalu 'curious' sama agama aku sendiri. Even, aku sholat itu di saat aku masih kecil, dan itu pas lagi bulan Ramadhan. Ibuku berangkat ke masjid, dan kadang-kadang aku sering ikut beliau. Pas Taman Kanak-kanak, aku juga pernah ikut lomba sholat, sih. Tapi tentu saja aku mana paham kalau sholat itu memang bagian dari agamaku. Waktu dimana aku benar-benar tahu sholat adalah ketika aku menginjak kelas 2 SD. And the saddest thing is, i know about "Sholat" itu dari pelajaran Agama ketika di sekolah. Nenek dan Ibu nggak pernah literally mengajarkan apa dan bagaimana sholat kepadaku. Alhasil, aku belajar sendiri ketika aku sudah bisa baca tulis.

Islam yang ku tahu saat itu adalah agama semua orang yang sudah otomatis dianut sedari bayi. Even though kita akan agree kepada agama kita atau tidak, kukira semua orang memang terlahir sebagai muslim. Sampai saat dimana di sekolah, saat Sekolah Dasar juga, aku berteman dekat dengan kawanku yang beragama non muslim (I'm not really remember, tapi yang jelas agamanya Katolik atau Kristen). Dan saat masih kecil aku juga bertetangga dengan keluarga yang menganut agama Budha.

Dan sampai di mana ketika sekolah, aku mendapat materi di mapel PKN, kalau agama di negara kita itu ada 5. Dude, aku baru sadar kalau misalkan aku nggak sekolah gitu aku bakalan tahu dari mana, ya? *Uhuk. Okay.

I have an interesting question to all of you, guys. Aku itu ngerasa entah kenapa tiba-tiba banyak banget orang yang memutuskan memakai kerudung ketika waktu antara aku SMP dan mulai masuk SMK. Hingga sekarang. Ini sih kayaknya emang gara-gara unsur Islam tuh nggak terlalu kental di lingkunganku kali, ya? Lagipula aku sekolah kan juga di sekolah yang Negeri mulu, sih. Beda kali ceritanya kalau aku sekolah di tempat yang berbasis Islam.

But, in my memory, i remember that some of my mother's friend not wearing a veil when i was a child. And suddenly, antara aku SMK dan ketemu sebagian dari temen-temen kecilku, banyak dari mereka sekarang yang berhijab. Bahkan ibu mereka juga. Yang mana aku ingat dulu beliau tidak pakai kerudung, gitu. Ya nggak semua juga yang pakai kerudung. But, most of them. Soalnya kalau diinget-inget yang pakai kerudung cuma satu dua. Tapi tiba-tiba banyak yang pakai kerudung. Termasuk aku. Can you explain to me, why?

Aku sebelum hijrah, tentu saja melihat kerudung itu selayaknya fashion saja. Hanya aksesori dalam berpakaian, yang kalau lu nggak kepingin pakai, ya boleh. Karena literally, tetangga-tetanggaku, orang-orang yang dekat sekali denganku, mostly mereka itu memang Islam. Beliau-beliau ini baik sama semua orang. Menunaikan ibadah sholat juga. But, most of them not wearing a veil. Yang aku ingat, orang-orang pakai kerudung hanya ketika Idul Fitri :( that's why i'm not really knowing about hijab.

Sebenernya aku disaat itu tuh nggak nakal juga. Kalau inget sholat, ya sholat. Kalau lupa, ya namanya juga manusia. Aku juga mulai ngaji pas diajakin temenku. Hafalan Quranku terbilang cepat juga padahal nggak pernah diajarin pas di rumah. Ku kira Islam hanya seputar itu. Nenek dan Ibuku juga nggak pakai kerudung. Jadi kenapa aku harus pakai? 

Sebenarnya kalau bisa dibilang, aku memakai kerudung dengan sedikit tekanan. Nggak usah dijelaskan detail siapa saja yang menanyai aku soal kerudung di saat SMK itu. Ya, gimana ya? Aku dengan background agamaku yang seperti itu dan minim pengetahuan soal Islam. Terus temen-temenku yang di SMP nggak memakai kerudung, suddenly pada pakai kerudung, gitu. Ya, sih. Mungkin ini karena aku nggak pernah belajar tentang agamaku sendiri dengan baik. I realized that. Aku ingat sekali pada saat itu, ada beberapa yang nanya ke aku, "kapan pakai jilbab?". You should know, kalau kamu sedang berada dalam fase 'nggak tahu apa-apa' kayak aku, terus ditanyain begitu, pasti bingung.

Itulah awal mula dimana aku mulai mencari tahu tentang perintah memakai jilbab. Ya kalau bisa dibilang itu karena aku lama-lama risih ketika temenku pada pakai, sedangkan aku enggak. Akan tetapi, aku saat itu bener-bener nggak mau kalau aku pakai hanya karena terpaksa atau karena ditanyain mulu. 

Tibalah saat dimana aku mulai follow akun-akun dakwah. Dan entah begimane aku sering ketemu postingan yang isinya ajakan untuk memakai kerudung. Saat itu aku sudah tahu ternyata kerudung itu wajib bagi setiap muslim. Dan buanyak banget sindiran-sindiran yang menampar gitu untuk aku yang posisinya sudah baligh ini dan belum memakai kerudung. 

Dan suatu hari, aku baca sebuah postingan yang kurang lebih begini, "Satu langkah anak perempuan keluar dari rumah dan memperlihatkan helaian rambutnya (tidak berjilbab), maka selangkah pula ayahnya masuk ke nereka." And i was like, Ya bodo amatlah. Ayahku aja nggak berperan apa-apa dalam kehidupanku. Aku cuma tahu agamaku dengan belajar. Mana pernah dia membimbingku soal ini. Ayah nggak ngajarin aku apa-apa soal agama dan nggak pernah peduli sama aku. Terus kenapa aku harus memakai jilbab dan menyelamatkan beliau yang katanya adalah "bapakku" ini. Nggak masuk akal. Aku seegois itu dulu. Mulai dari tweet itu, aku malah semakin nggak ingin pakai kerudung. 

Waktu masih terus berjalan. Teman dekatku masih ada yang bertanya kapan aku pakai kerudung. Even, my teacher asked me about this things. Aku ingat sekali. Dia adalah guru Seni Rupa. Saat itu dia tanya, "Kamu nggak ada keinginan pakai jilbab?" Dan entah kenapa saat itu nadanya seperti seorang Ayah yang bertanya kepada anaknya dengan sungguh-sungguh. Aku bilang, "Belum, Pak. Tapi masih saya pikirkan lagi." Beliau lalu menerangkan sedikit kalau jilbab itu sebuah kewajiban. Bukan pilihan. I know about that. Tapi entah kenapa air mataku ingin jatuh saat itu juga. Entahlah, saat itu aku tiba-tiba jadi orang yang mudah tersentuh. Mungkin itu salah satu faktor saat hidayah mulai datang.

But for your information, aku ketika nggak berjilbab, pakaianku juga lumayan tertutup. Sedari kecil aku lebih sering pakai celana yang panjangnya dibawah lutut. Meski aku nggak pernah pakai rok, tapi kalau pas sekolah, aku selalu disuruh pakai dalaman celana panjang oleh Nenekku. Jadi, meski nggak berjilbab, pakaianku juga nggak se-terbuka itu. Setelah waktu itu, aku sekali dua kali kadang kalau pergi, aku pakai jilbab. Dan aku sangat nyaman ketika memakainya.

Entah kenapa rasanya amat nyaman ketika mengenakan jilbab. Rasanya terlindungi entah oleh apa. I can't describe it. Aku jadi mikir di dalam kepalaku dan keegoisanku. Kalau kamu nggak pakai jilbab karena mau balas dendam pada Ayahmu, lalu apa bedanya kamu dengan Ayahmu? Aku mulai turunkan keegoisanku saat itu. Kalau aku tidak pernah bisa bertemu lagi sama Ayahku, mungkin hanya inilah satu-satunya cara agar aku berbakti kepada beliau. Sekecewa apapun aku dengan Ayah, aku nggak ingin jadi anak durhaka yang bahkan nggak pernah ketemu beliau. Sejak itu, aku nggak peduli Ayahku orang seperti apa, aku akan tetap berbakti kepada beliau. Kau harus tahu, sulit sekali untuk merasa ikhlas melakukan kebaikan. 

Dan aku memutuskan memakai jilbab, Karena aku sudah tahu itu adalah kewajiban bagi setiap muslimah. Lagipula, aku merasa sangat aman ketika memakainya. Tentang Ayah, anggap ini satu-satunya caraku berbakti. Aku sudah dewasa dan harus menentukan pilihanku sendiri dengan waras. Bukan dengan emosi sesaat yang menggurui. Karena sekecewa apapun aku dengan beliau, ada darah beliau yang mengalir di tubuhku sampai aku mati nanti. Itu sudah cukup untuk mengakui kalau aku masih mempunyai seorang Ayah, dan aku ingin berbakti padanya.

Reaksi Nenek ketika aku memakai jilbab ternyata biasa saja. Kukira Nenek akan melarangku saat itu. Tapi setelah dipikir lagi, beliau pasti lebih memilih aku berpakaian tertutup daripada terbuka. Jadi, Nenek mendukung saja apa yang kuputuskan. 

Terimakasih kepada akun-akun dakwah yang membantuku pada pencarianku tentang hijab.

Terimakasih pada teman-teman yang secara tidak langsung membantuku dalam proses hijrahku saat itu. Bantuan kalian sungguh berharga.

Aku tak bisa bilang kalau aku sekarang sudah istiqomah, but i tried. As a human, kadang naik turun iman membuat goyah. Keadaan juga mempengaruhi. Tapi semoga saja, aku tetap di jalan yang baik.


Ini ceritaku, gimana ceritamu? 🍒



Tertanda,



Nanda💫






Friday, February 26, 2021

Selamat!

Halloha, Journey!


Kali ini bukan cerita tentang diriku. Kali ini cerita tentang seseorang 

 Ia yang dikenal kocak dan lucu oleh orang-orang yang dekat dengannya. Tentu saja kalau kukatakan dia adalah orang yang bahagia karena gelak tawanya paling keras, itu sungguh keliru. Tawa yang ia sajikan pada orang-orang, dibalik itu, ada kesedihan yang ia pendam.

 Aku jadi teringat ketika ia menceritakan kisah yang dia rasakan tentang keluarganya kepadaku. Tak bisa ku ceritakan padamu bagaimana kisah itu. Tapi beberapa bagian ceritanya hampir mirip denganku. Mulai saat itu aku menyadari kami mempunyai masa lalu yang meninggalkan bekas tak jauh beda. Luka.

 Kami berteman. Dengan posisi dia yang mudah sekali mengekspresikan perasaannya sedangkan aku tidak. Kami menyukai hal yang sama, K-POP. Kami sama-sama anak pertama dalam keluarga. Ia yang berjuang membanggakan kedua orangtuanya sebagai anak pertama. Asal kau tau, dia anak pertama perempuan yang tegar yang pernah kukenal. Banyak persamaan yang kami miliki satu sama lain.

Kau tahu? Aku kadang tak bisa memahaminya. Ia suka berubah-ubah. Ribut. Lalu menjadi sangat pendiam. Lalu tiba-tiba tawanya meledak. Tapi aku tak pernah mempermasalahkan itu. Dalam diamku, aku selalu menyukai apa yang dia lakukan. Selama ia bisa kembali bahagia. Kau pasti tahu ia seringkali tertawa bahagia, namun tentu saja ia memiliki luka yang tidak diketahui siapapun.  

Selayaknya sebuah pertemanan, tentu saja kami pernah tak setuju satu sama lain. Tapi pertengkaran kami bukan adu mulut yang sangat ribut. Namun kalau ada beberapa gesekan atau salah paham, tentu saja kau harus memakluminya. Kami masih remaja yang mencari jati diri. Ego kami kadang berada di atas segalanya. Kami seringkali bertengkar namun dalam diam. Aku sangat peka dengan perasaan hati dan tingkah laku. Jadi aku tahu kalau beberapa kali ia pasti kecewa padaku terhadap sesuatu. Lalu tiba-tiba dia sudah kembali saja seperti biasa. 

Dia sering bercerita padaku tentang dirinya. Tentang cinta pertamanya. Tentang adik yang sangat ia sayangi. Tentang hidup. Tentang orangtuanya. Aku beberapa kali juga mengungkapkan apa yang kurasakan padanya. Ku rasa dia sedikit banyak memahami tentangku. 

Dia pernah menyebutku sebagai sahabat atau kakak baginya. Namun aku tak merasa sepantas itu menjadi seseorang yang berharga untuknya.

Untukmu,

Terimakasih sudah menjadi kawan yang baik untukku. (aku paling tidak suka mengatakan ini karena kesannya seperti salam perpisahan, tapi kurasa aku juga harus melakukannya). Terimakasih sudah menjadi seseorang yang mengetuk pintu hatiku dan berani masuk bertamu ke dalam ruang kosong yang sangat sepi ini. Terimakasih atas canda tawa yang kau suguhkan untukku. Terimakasih sudah banyak memberiku pelajaran tentang hidup. 

Maaf. Maafkan aku ketika kau sering kecewa dengan sikapku. Maaf tak sebaik itu menjadi temanmu dan membuatmu kehilangan tawa.

Selamat berkepala dua. Selamat sudah mendapatkan kebahagiaan yang sudah kau nantikan. Aku sungguh berharap kau bisa mencapai segala yang kau impikan. Entah menulis, atau ingin pergi ke Jepang (kau masih ingin pergi ke sana nggak?). Atau pergi ke Korea bersama di masa depan? Aku berharap semua bisa tercapai. Semoga kau segera bertemu jodohmu, jangan terus-terusan mau cari sugar daddy ya. Hehe...

Aku pernah berkata akan menuliskan sesuatu tentangmu, kan? Seharusnya bukan draft tulisan yang ini. Tapi aku tak kunjung merampungkannya. Dan inilah yang bisa ku tuliskan (atau ketik lebih tepatnya). 

Kau tahu kan aku tak se-ekspresif dirimu? Jadi inilah salah satu hadiah dan kenang-kenangan yang bisa ku berikan.

Semoga kau bisa mencapai apa yang ingin kau lakukan, ya! Jangan lupakan aku dan teman-teman yang lain. Kau tahu kalau aku setidak suka itu dengan 'jarak'. Jadi, kalau kau bisa membuktikan jarak bukan masalah, kurasa akhirnya aku kalah.

Atau jangan-jangan aku selalu menang tentang argumen "jarak" tersebut?

Selamat menua. Semoga kau selalu dibawah lindungan-Nya.


 Sedikit puisi untukmu di hari spesialmu.

 Ia perempuan berhati baja

 Lukanya tersisa di pergelangan tangannya

 Bukti dari terbelenggu kebebasannya

 Ia perempuan terjenaka

 Kelakarnya sukar membuat orang lain tak mengunggah tawa

 Ia juga kadang malas

 Rasa magernya mengalahkan segalanya

 Ia perempuan pemberani

 Suaranya mewakili hati orang-orang yang sunyi

 Ia perempuan terkuat

 Hidupnya yang keras sebagai bukti yang nyata

 Ia perempuan termanis

 Senyumnya seringkali mencerahkan dan tawanya menenangkan

 Anin namanya

 Teruntuknya, salamkan rasa terimakasihku

 Dengungkan permintaan maafku

 Ingatkan dia tentang kenangan manis saja

 Hei, Anin!

Selamat menua

 Aku menyayangimu, adikku, sahabatku









Sunday, January 10, 2021

Mbah Kakung

Aku kecil sudah sering melihat kepalsuan dari banyak sekali manusia. Entah itu masuk dalam kategori keluarga, atau hanya orang yang sebatas kenal. Kata almh. Nenekku, orang itu outputnya ada dua (tentu saja dengan kalimat lain dalam bahasa jawa tapi intinya gitu). Lahir dan batin.

Lahir itu adalah sesuatu, sebuah, apapunlah pokoknya. Yang keluar dari mulut kita

Sedangkan batin, adalah sesuatu yang tersimpan di dalam hati masing-masing, dan tak akan pernah ada yang tahu. 

Itulah mengapa aku tidak menyukai manusia. Karena aku adalah tipe orang yang lebih suka mengamati keadaan sekitar, aku jadi tahu kalau semua orang itu hampir sama. Mereka di depan satu sama lain terlihat baik-baik saja, tapi ketika mereka berpisah dan bertemu orang yang lain, mereka akan membicarakan satu sama lain dari belakang.

Aku yakin semua orang pasti begitu.

Itulah salah satu alasan mengapa aku tidak suka banyak bicara ketika membahas tentang orang dan lebih diam.

Well, karena aku manusia, aku sadar juga aku pernah membicarakan teman atau seseorang juga sesekali. Makanya, aku nggak suka itu.

Aneh, kenapa aku malah nulis judul blog ini "Mbah Kakung", ya? Ah....... Mungkin karena aku sangat sensitif dengan sisi manusia yang satu itu, (apa yang dikatakan biasanya agak bertolak belakang dengan batinnya)

Aku cuma tahu aku punya 1 mbah kakung. Itupun bukan Mbah ku kandung. Well, its a long story kalau harus ku ceritakan dari awal.

Mbah Kakung ku itu sekarang, saat aku menulis ini, usianya sudah sangat sepuh. Dan kalau aku bilang sudah sangat, itu berarti memang betul-betul "sudah sangat sepuh". Entah kenapa aku jadi ingin menulis tentang beliau, mungkin karena kemarin beliau baru saja mengunjungi rumahku.

Jujur saja, aku sudah sangat lama tak pernah mengunjung beliau lagi, setelah lebaran yang tahun kemarin. Bukan apa-apa, aku ini anaknya memang canggung dan nggak suka bicara, jadi daripada berkunjung tapi terpaksa, aku memilih enggak mengunjungi saja.

Aku nggak pernah dekat dengan beliau. Tapi mungkin pas masih kecil, ketika aku masih belum sekolah, iya. Samar-samar aku punya ingatan beliau pernah berkunjung ketika aku masih minum susu pakai dot bayi.

Dan, well.. Mbahku sekarang ini sudah sepuh sekali. Kata orang-orang sih, usianya sudah 1 abad. Yaaa beliau udah nggak se-perkasa dulu juga sih. Pendengaran dan penglihatannya udah berkurang. Bahkan ingatannya pun juga samar-samar.

Dan aku masih tidak bisa percaya akan hal ini, tapi ketika aku mendengar suara beliau berbicara, aku selalu saja rasanya ingin menangis. Mungkin karena suara beliau se-menenangkan itu dan aku tahu, beliau kini sudah sepuh. Meski hati nurani ku sedikit, tapi aku juga bisa lemah pada hal-hal seperti itu.

Sebenarnya ada satu hal yang ingin ku tumpahkan, tapi kurasa ini lebih ke masalah personal beliau, aku tidak jadi membahasnya. 

Intinya, ada yang tidak sopan kepada mbah kakung ku, dan orang itu masih berhubungan keluarga dengan beliau. Ya, aku ikut sedih dan marah ketika mendengar itu. Tapi aku bisa apa? 

Aku kan cuma anak-anak.

Intinya, aku tahu tahu sih kalau manusia itu punya kurang dan lebihnya masing-masing, apalagi manusia punya ego dan nafsu.

Tapi, sungguh aku nggak tahu lagi kenapa manusia harus begitu.

Sehat-sehat terus untuk mbah kakung dan istrinya. Semoga selalu berada dalam lindungan Allah. Aamiin 

Sunday, January 3, 2021

Suara Rumah

Halloha Journey!


Apa arti rumah buatmu?
Teruntuk yang berselisih dengan anggota keluarganya, mereka menganggap rumah sebagai tempat yang dihindari.

Teruntuk yang dalam perantauan, mereka bimbang antara rumah dan tempat rantau mereka.

Rumah bagiku, adalah tempat pulang. Ketika seharian aku lelah dengan bersosialisasi, aku hanya butuh pulang. Aku ingin sendirian. Entah mengapa.

Namun, akhir-akhir ini aku menganggap rumahku sunyi. Kau tahu? Ketika segala ketakutan masa lalu perlahan-lahan merangkak keluar dari tempat yang sudah susah payah kukubur dalam-dalam.

Aku sering mendengarkan suara dari luar rumah.

Tawa anak-anak kecil yang bermain sepak bola di depan rumah, Teriakan Pak Sis mengusir burung penganggu yang ada di sawahnya (kau harus tahu suara beliau amat sangat keras), suara tetanggaku yang tengah membuat emping. Suara tumbukannya yang beradu sungguh khas terdengar di telinga.

Ya Allah, izinkanlah untuk sekali iniiiiii saja. Aku mohon kepadaMu untuk memberi kesempatakan padaku sekaliiiiiiiiiii lagi.


Kebisingan dalam Sunyi

 Halloha Journey! Sudah lama tidak curhat di sini. Jadi, langsung ingin curhat saja. Jadi, beberapa hari ini aku lagi suka nonton Jurnalrisa...