Showing posts with label FAM(ILY). Show all posts
Showing posts with label FAM(ILY). Show all posts

Sunday, September 13, 2020

Yah...




Ayah, Do you miss me?
putrimu disini sudah hampir berkepala dua,
Aku sudah semakin besar
Tapi belum jua menuju dewasa, Yah
Maaf belum bisa jadi putri yang membanggakan untuk Ayah
Aku ngerepotin Ibu terus, yah
Kok ayah nggak pernah mau aku repotin juga?
Yah, aku rindu ayah...
Aku masih ada di sini, menunggu kakek kesini sama ayah
Aku sama ibu ada di sini.
Aku ingin ketemu ayah untuk yang terakhir kali. Aku ingin lihat wajah ayah
Apa ayah sama sekali nggak ingin tahu aku dimana? Aku lagi ngapain? Aku lagi sama siapa? Apa aku menjalani hidupku dengan baik?
Aku sekarang cuma berdua sama Ibu, Yah
Ayaaaahhhhh...
Ayah harus tahu kalau ayah bukan patah hati terhebatku lagi. Ada nenek yang jadi patah hati terhebatku, Yah.
Ayah dimana?
Ayah lagi apa?
Ayah sehat-sehat, kan yah?
Ayaahhhh...
Sini...
Cepet...
🥺🥺🥺

Saturday, June 1, 2019

Ibu dalam Kacamataku

Pada malam yang hening ini, ditemani Mocca, kucingku dan juga segelas air putih. Aku ingin bercerita lagi. Kali ini aku akan menceritakan mengenai seseorang yang begitu ku cintai dan ku sayangi.







Ibu.


Aku ingin tahu, bagaimana kalian mendeskripsikan Ibu kalian? 
Apakah pintar memasak?
Pekerja keras?
Pintar menjahit? 
Penuh kasih sayang?
Pengelola uang yang baik?
Superhero?

Bagiku, Ibuku sangat istimewa. 
Tahukah kamu? Menceritakan tentang Ibuku lebih menguras emosi dibandingkan aku menceritakan hal lain. Karena Ibuku tidak seperti Ibu-Ibu yang lain. Ibuku berbeda. Ibuku Istimewa.

Untuk mendeskripsikan ibu, aku hanya bisa bilang kalau Ibuku itu...
Lebih suka membicarakan kucing daripada si tetangga ini beli kulkas dua pintu.
Ibu lebih suka melihat film kartun daripada menonton acara berita.
Ibuku lebih suka menyentuh snack bisvit selimut daripada menyentuh peralatan rumah tangga.
Ibuku lebih suka membeli banyak makanan ringan daripada peduli kelengkapan bumbu dapur di rumah masih atau tidak

Banyak orang yang memandang rendah Ibuku. Banyak sekali orang yang meremehkan, mencemooh, dan menganggap Ibuku aneh. Aku mengetahui itu semua. Bahkan dulu, Almh. Nenekku pun begitu. Namun, ia tidak pernah benar-benar membencinya. Buktinya, pesan beliau yang terakhir adalah "Nduk, kamu harus menempati rumah ini berdua sama ibumu. Yang rukun. Jaga Ibumu." 

Bahkan di ujung nafasnya, beliau yang sering memarahi Ibu, malah menyuruhku menjaga Ibuku.

Dulu, aku pun meremehkan Ibu. Aku sering marah kalau Ibuku tertawa dan bermain bersama anak-anak kecil di desaku. Aku pernah marah melihat Ibuku pergi ke sungai mencari ikan bersama anak-anak kecil. Aku pernah marah ketika tahu Ibu membeli barang-barang mainan yang tak berguna. 

Namun, kali ini aku sadar. Memang ada yang berbeda dalam jiwa dan psikis beliau. Tidak. Tunggu. Jangan pernah menganggap beliau aneh. Jangan pernah memandang beliau remeh. 

Setidaknya..

Ibuku tak pernah menyakiti hati orang lain. Ibuku tak pernah berkata kasar pada orang lain. Ibuku tak pernah tega berkata "tidak" ketika ada orang lain yang meminta tolong padanya. 

Dulu, ketika pertama kali aku sadar kalau Ibuku berbeda... Aku marah. Entah marah pada Ibu, marah pada takdir, bahkan juga lagi-lagi aku marah dengan Tuhan. Mengapa aku tidak boleh merasakan apa yang namanya 'normal' dalam sekejap saja? Mengapa aku harus lagi, lagi dan lagi mengalami hal abnormal yang tidak dialami oleh orang-orang di sekitarku?

Namun, apa kau tahu? Semarah apapun aku kepada sifat istimewa Ibuku...
Aku juga merasakan sakit ketika orang lain banyak yang membicarakan Ibu di belakangku.
Tentang keanehan Ibuku. Mereka hanya membicarakan Ibu tanpa ingin tahu apa dan kenapa Ibu menjadi seperti itu. Mereka hanya melihat apa yang terlihat di luaran saja. Mereka tidak pernah mau tahu dan tidak mau peduli bagaimana perasaan ku sebagai ANAKNYA ketika mendengar Ibuku dikatai "Bodoh" dan "Aneh".

"Makanan tinggal dibawa, kok bodoh banget, sih?!"
"Cara ngulek sambel tuh nggak gitu, Bodoh!"
"Masak sayur gitu aja nggak bisa! Bodoh kamu!"

Bayangkan, ada orang yang berkata seperti itu kepada Ibumu, 
DI DEPAN KAMU, ANAKNYA!

I know that my mom is different. My mom is special. But, you can't treat my mom as you wish. 
My mom has her own world. And don't bother her.

Aku sungguh sakit hati! Aku sudah susah payah melakukan penerimaan. Susah payah mencintai Ibu dengan segala sifat istimewa yang ia punya. Meruntuhkan rasa malu agar berubah menjadi rasa bangga karena mempunyai Ibu yang cintanya tulus untukku. 

Lalu dengan mudahnya mereka mengatai Ibuku "Aneh" di depan ku?!

Hati anak mana yang tega mendengar kata tersebut ditujukan kepada IBUNYA?

Rasa dalam jiwa, ingin sekali aku sebagai anaknya membalas berkata kasar pada orang-orang itu. Ingin sekali aku memukuli mereka yang berkata seenaknya tentang Ibu. Ingin aku membela Ibu. Penerimaan yang kulakukan sudah susah payah, dan mereka dengan beraninya menilai ibuku seenaknya?! Maka, aku hanya diam. Membiarkan mereka berkata sesuka hati. Biarkan Tuhan yang membalas.

Setelah aku dan Ibuku tinggal berdua, Ibu berubah. Ia mulai seperti Ibu-Ibu lainnya di mataku. Ia menyiapkan sarapan untukku. Mencuci bajuku. Menyapu rumah. 

Ia sudah berusaha keras menjadi pengganti almh. Nenek.

Dan menurut kacamataku...
Ibu berhasil menjadi Ibu yang baik untukku. Ia juga menjadi Ayah pelindung bagiku. Menjadi Kakak pendengar yang baik untukku. Bahkan, ia menjadi Adik yang siap kujahili kala merasa bosan.

 DAN AKU BANGGA MENJADI ANAK IBU.

Aku tahu kalau ada yang tidak sengaja berkata kalau, "Ma, kok Ibumu agak aneh, ya?" Tidak apa-apa. Aku lebih dari sekedar mengerti. Aku tak marah. Karena kau baru pertama kali bertemu Ibuku dan aku tak bisa menyangkal kalau apa yang kau katakan memang benar. Tebakanmu tentang Ibuku tidak salah. Memang seperti itu adanya.

Yang kuharapkan adalah, setelah kau tahu bagaimana Ibuku, ku mohon bersikaplah biasa saja. Bicaralah pada Ibu tentangku saja. Ia lebih banyak tahu tentangku dan lebih bersemangat ketika menceritakanku. Atau bicaralah tentang kucing di rumah kami. Ibuku akan sangat antusias menjawabnya. 

Anggaplah Ibuku sebagai teman. Jagalah perasaanku, sebagai anaknya. Dan yang terpenting adalah hargai Ibuku.  

Kalau dipikir-pikir lagi, aku ini terlalu keras pada orang-orang yang sering membicarakan Ibu.
Haha.. Bahkan Ibu tak pernah peduli pada omongan orang. Ibu tak pernah memperlihatkan rasa tidak sukanya. Tidak sepertiku.

Aku selalu salut dengan Ibu yang selalu merasa baik-baik saja dan tidak apa-apa di balik ini semua. Karena aku tahu, Ibu sangat berusaha agar aku tak terpuruk setelah aku kehilangan Nenek. Ibu adalah wonderwoman kedua dalam hidupku. Tak akan pernah kubiarkan orang lain mencemoohnya.

Mengatainya 'Bodoh', 'Aneh', ataupun lainnya.

 Tidak. Aku tak pernah malu mengakui Ibu yang mempunyai sifat istimewa. Meskipun aku tahu, masyarakat di lingkunganku pasti semua sudah pernah membicarakan Ibu, tapi tak apa.

Bukankah sudah kebiasaan kita sebagai manusia untuk melihat apa yang ada di luar saja? Tanpa mau bertanya.

Iya, iya.

 Pasti kamu mau bilang, "Kami kan nggak akan pernah tahu seperti apa perasaanmu kalau kau tidak memberi tahu kami."
Iya, itu juga dilema. Karena tak mungkin juga setiap hari aku harus menebarkan keresahan ku pada semua orang yang belum mengenalku dan belum mengetahui tentangku.
 Jadi, aku menulis.

Entah siapapun yang membaca dan paham, aku tetap bersyukur untuk itu. Setidaknya ada 1 atau 2 orang yang paham dengan apa yang ku rasakan. Itu cukup.

Tentang Ibu, aku bangga pada perubahannya.

Aku mencintainya. Selalu.







Friday, April 19, 2019

Bapak dan Ibu


          
Hari ini aku ingin membahas mengenai hubungan anak dan kedua orangtua. Ketika membahas mengenai orangtua, aku tahu kita datang dari berbagai latar belakang yang berbeda. Orangtua kita semua berbeda. (iya tahu, maksudnya sifat orangtua kita yang beda). Kelengkapan orangtua kita pun berbeda. Orangtua yang mengurus kita berbeda. Kali ini, aku akan menceritakan sedikit mengenai keluargaku. Dulu, ketika membahas tentang orangtua, aku selalu minder. Aku ngerasa menceritakan hal-hal yang berkaitan dengan orangtua adalah hal tabu. Bahkan aku menganggap kalau orangtua  adalah aib. (Durhaka sih, dulu itu).

Misalnya, Ketika aku dapat  pertanyaan “Memangnya ayahmu dimana?” Sungguh, rasanya ingin aku berlari ketika dikasih pertanyaan itu. Kenapa harus lari? Ya alasannya adalah karena aku malu. Karena jawaban jujurnya adalah Ayah dan Ibuku sudah bercerai ketika aku masih berada dalam kandungan. Kalau sudah ditanya, "Ayahmu dimana?" Biasanya aku hanya akan menjawab, “Ayah dan Ibuku udah cerai.” Setelah aku menjawab begitu, biasanya suasana teman-teman jadi berubah seakan-akan dia baru saja bertanya "Kapan kamu mati?" dan aku menjawab, "Mungkin besok". Sedari mulai aku SD, SMP, bahkan sampai sekarang, aku selalu menghindari pertanyaan tentang Ayah.

Karena aku adalah anak yatim (Bapakku masih hidup, sih. Tapi aku nggak pernah ketemu lagi semenjak aku kelas 2 SD), aku merasa menjadi minoritas di kelas. Maksudku adalah, berapa persen sih orangtua di kelas kalian yang sudah bercerai? Bahkan aku sering merasa lebih baik ketika menjawab kalau bapakku udah beneran meninggal. Maka, tidak ada lagi pertanyaan berikutnya. Masak iya mereka akan bertanya, “Kenapa Bapak lo meninggal?” Nggak mungkin, kan. Karena kita semua tahu meninggal itu adalah suatu takdir. Jadi, nggak akan ada rasa aneh ketika jawabannya begitu. Nah, kalau masalah perceraian? 
Ya, itulah salah satu alasan kenapa aku merasa pertanyaan tentang orangtua adalah aib.

Selama 17 tahun aku hidup, aku hanya tinggal bersama nenek dan ibuku. Lagi-lagi ini menjadi pertanyaan yang aneh gitu. Tiga cewek tinggal satu rumah tanpa sosok laki-laki? SERIUSAN? Dulu, aku selalu ngerasa itu adalah aib juga. Nggak tahu, ya. Karena di mataku, keluarga yang ‘normal’ itu adalah keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu, dan  Anak.  Pun, aku kecil selalu menginginkan keberadaan figur laki-laki dalam keluarga. Stigma dari lingkungan dan apa yang ku lihat sejak kecil adalah suatu hal yang benar-benar tertanam dalam mainsetku. Seakan-akan ketika aku bercerita kalau keluarga gue yang hanya beranggotakan Nenek dan Ibu, keluarga gue adalah keluarga paling aneh di muka bumi ini. Society kita yang bikin gue berpikiran begitu. Mana pernah ada yang ngerasa bersimpatik sama keluarga ku? Atau seenggaknya menghargai keluarga gue yang notabene-nya terdiri dari para perempuan. Mana ada?

Tapi, sekarang gue menyesali itu. Gue menyesali sikap gue yang mengutuk keluarga gue. I mean, seharusnya dari dulu gue selalu membanggakan keluarga gue. Ini hlo.... tiga wonder woman yang sanggup hidup tanpa figur cowok. Inilah kami. Hei! Cewek nggak selemah yang dikira. Buktinya, gue dan keluarga kecil gue mampu hidup tanpa kekurangan. Meski pertengkaran hebat sering terjadi, kami tetap selalu bertiga.



Disini, aku ingin mengakui sesuatu. Aku bener-bener menyesal atas perlakuan-perlakuan buruk yang kurang sopan ke Almh. Nenek. (Iya, hari ini aku tinggal berdua saja sama Ibu. Tanpa superhero kami).

Aku yang sedari kecil terlatih hidup dimanja, disayang-sayang, tidak diajarkan berusaha, aku sering merajuk ketika keinginanku tidak diwujudkan. Aku pernah membentak Nenek dan Ibu, karena mereka sering bertengkar. Aku yang hampir setiap hari menyalahkan nasib. Rasanya Tuhan nggak adil.

Hari ini, Nenekku telah tiada. Meskipun maaf sudah terucap, aku selalu ngerasa jadi cucu yang tidak baik. Aku masih sering ngerasa bersalah. Aku tidak menyadari, Nenek bergulat dengan penyakitnya diam-diam. Nenek berjuang gila-gilaan untukku.

Lalu, apa yang sudah ku lakukan? Aku hanya menyalahkan takdir, menyalahkan Tuhan atas apa yang telah terjadi dalam hidup. Dan itu adalah hal yang amat sangat salah. Mungkin ketika kalian baca ini kalian akan punya pemikiran, “Kok kamu buka aib keluarga, sih? Ini nggak pantes diceritain.”

            Nggak.

Mulai hari ini aku nggak akan menutupi lagi apa-apa tentang keluargaku. Aku hanya tinggal bersama Ibu. Ayahku udah bercerai sama Ibu. Dan aku pernah punya satu superhero dalam hidup. Yaitu Almh. Nenekku. Keluarga bagiku udah bukan aib lagi. Tapi, dengan bercerita sejujur-jujurnya tentang keluargaku bukan berarti aku ingin dikasihani. Enggak. Aku benci dikasihani. 

Dengan bercerita sejujur-jujurnya tentang keluargaku, berarti aku sudah berdamai dengan masa lalu. Ini berarti aku sudah ikhlas menerima apa yang terjadi di hidupku dan mensyukuri nikmat yang sudah Tuhan berikan beserta hikmahnya. Aku baru sadar, aku istimewa. Seenggaknya bagi diriku sendiri. Nggak semua orang bisa bertahan dengan keluarga yang berantakan.
Tapi alhamdulillah, dengan percaya sama Tuhan, apapun bisa terlewati dengan baik.
           
Pesanku ke kalian semua yang keluarganya bermasalah adalah seburuk apapun sikap orangtua, bagaimanapun orangtua bersikap, mereka tetap orangtua kalian. Cuy, kalau misalkan kamu ngerasa orangtua kamu salah, kamu ngerasa keluargamu salah, bukan berarti kamu harus menyalahkan orangtuamu, bukan berarti kamu harus lari dari orangtuamu, apalagi menyalahkan Tuhan atas apa yang terjadi sama keluarga kamu.

Kamu. Harus. Mengubah. Diri.

Aku tidak seagamis pemuka agama. Aku masih belajar dan struggle untuk keluar dari masalah. Kita sama. Lalu, kenapa aku nyuruh kamu yang mengubah diri? Apakah ini semua salah kamu? Salah kamu dilahirkan di dunia? Nggak. Ini memang bukan salahmu. Tapi, ketahuilah, ketika kamu selalu menyalahkan orangtuamu, semuanya nggak akan berubah. Terlebih kalo kamu menyalahkan Tuhan. ITU SALAH BESAR.

Hati orangtuamu, bukan kamu yang pegang. Ego orangtuamu bukan kamu juga yang pegang. Pandangan negatif orang lain bukan kamu yang pegang. Tapi, kamulah yang memegang takdir. Bukan, kamu bukan Tuhan. Maksudku adalah, perbaikilah segalanya mulai dari diri sendiri. Bersihkan hati kamu dari sikap selalu menyalahkan sesuatu.

Berdamailah sama diri lo sendiri.

Dulu, almh. Nenekku adalah orang yang gila harta. Beliau selalu memikirkan gimana, gimana, gimana besok kalau tidak ada lagi harta. Aku selalu dituntut untuk pelit. Nggak peduli sama orang lain. Dan sebenernya itu bukan aku banget, meski sifat itu hari ini malah jadi mengakar dalam diriku. Dulu, aku seringkali menentang beliau. Beliau bicara keras, aku balas lebih keras. Beliau mengumpat, aku bales cacian. Nggak berhasil.

Beliau seringkali memarahiku. Gara-gara hal sepele. Sampai akhirnya aku capek, aku memilih diem aja. Tapi dengan diamnya diriku, beliau merasa begitu menang. Berkuasa dalam keluarga. Dan itu sangat tidak baik. Aku tiap hari bingung mikirin cara apa, gimana supaya keluarga kami tidak bercerai-berai. 

Aku merubah sikap. Aku melunak. Aku sadar, amarah nggak bisa dibalas amarah. Aku sadar, amarah yang membumbung juga nggak bisa dibiarkan terlalu lama. Maka, hari itu aku merubah diri. Aku menuruti apa yang beliau katakan selama itu baik, dan aku mencoba menasehati ketika apa yang beliau minta melenceng dari perintah Tuhan. Kadang beliau tidak terima dengan kata-kataku. Tapi, aku tetap mencoba memberi tahu. Meski kadang kala masih kuselingi emosi, tapi lama kelamaan aku mencoba berbicara selemah dan selembut mungkin sampai beliau menyadari kalau aku berubah.

Dan hari itu.

Beliau sakit. Sakit untuk terakhir kali. Perasaanku campur aduk. Sedih. Sedih karena aku udah punya firasat. Tapi hatiku menghangat. Karena untuk pertama kalinya beliau mau mendengarkan nasehatku. Untuk pertama kalinya dia mau kembali lagi menjalani perintah Tuhan. Dan pertama kali itu menjadi yang terakhir kali juga karena Tuhan lebih sayang sama beliau. Aku belum pernah menceritakan ini ke siapapun. Karena butuh waktu untuk menyadari apa saja perubahan yang ada waktu itu. Waktu dimana aku takut kehilangan.

Tapi bersyukurlah aku. Hari ini, dengan menulis aku jadi ingat semuanya. Kepingan memori berurutan ketika menulis. Aku yang punya sakit ingatan jangka pendek, seenggaknya bisa ingat perasaan dan perubahan hari itu. Perubahan sikap beliau yang 'bertaubat' sebelum ajal. Yang aku baru sadari. Dan untuk mengingat lagi hari ini, hatiku perih sekaligus lega. Semoga amal ibadah beliau diterima di sisi Tuhan. Aamiin.

Percayalah, kunci dari semua ini adalah hubungan dirimu sama Tuhan. Yakin deh, kalau kamu punya hubungan baik dengan Tuhan, segalanya akan ikut membaik. Karena ketika kamu sendirian, kamu itu bukan siapa-siapa. Tapi, ketika kamu bersama Tuhan, kamu berarti segalanya.

Berdamailah sama diri kamu sendiri.


Lihat takdir yang ada di genggaman.
Maukah kamu berdamai dengan diri sendiri?
Perlukah kamu berubah menjadi pribadi yang lebih baik? Kamu pilih mana?
Hidup lebih baik atau hidup lebih buruk?

Tanya hatimu.

           

Kebisingan dalam Sunyi

 Halloha Journey! Sudah lama tidak curhat di sini. Jadi, langsung ingin curhat saja. Jadi, beberapa hari ini aku lagi suka nonton Jurnalrisa...